Abu Hamid Al-Ghazali, figur penting dan ternama dalam sejarah filsafat agama. Dilahirkan di Khurasan, dia belajar kalam di bawah bimbingan Al-Juwaini, seorang teology Asy'ariah twrkemuka. Pada usia tiga puluh tahun, Al-Ghazali diangkat sebagai direktur Masjid Nizamiyah yang terkenal di Bagdad. Tugasnya adalah mempertahankan doktrin-doktrin Sunni dari serangan Syiah Ismailiyah. Akan tetapi, Al-Ghazali memilimi temperamen gelisah yang membuatnya tak henti-henti bergumul mencari kebenaran, memikirkan suatu persoalan sampai tuntas dan menolak untuk puas dengan jawaban yang mudah dan konvensional. Seperti yang dikatakannya kepada kita,
Aku telah menerobos setiap celah yang gelap, aku telah menyerang setiap persoalan, aku telah menyelam ke dalam setiap lautan. Aku telah meneliti akidah semua sekte, aku telah menelanjangi senua doktrin rahasia setiap komunitas. Semua ini kulakukan agar aku dapat membedakan antara kebenaran dan kesesatan, antara tradisi yang sahih dan pembaruan yang bidah.
Dia mencari sejenis kapasitas tak tergoyahkan yang dirasakan filosof seperti Saadia, tatpi dia menjadi semakin kecewa. Betapapun luasnya pecarian yang telah dia lakukan, kepastian mutlak selalu luput darinya.
Al-Ghazali menyadari, sperti halnya setiap kaum skeptik modern, bahwa kepastian mutlak meruapakan suatu kondisi psikologis yang tidak selalu benar secaravobjektif. Para faylasuf menyatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan yang pasti melalui argumen rasional: para mistikus berpebdapat bahwa mereka telah menemukannya lewat latihan-latihan sufistik: kelompok syiah Ismaliyah merasa bahwa kepastian itu hanya bisa di temukan dalam ajaran imam-imam mereka.
Falsafah adalah yang paling tidak memuaskan di antara semuanya. Al-Ghazali mengarahkan sebagian besar polemiknya kepada Al-Farabi dan ibn sina.
Sumber: buku Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, Penerbit : Mizan
Komentar
Posting Komentar