Falsafah karya Abu Ali Ibn Sina (980-1037)
Yang di barat di kenal sebagai juklukan Avicenna. Dilahirkan di lingkungan keluarga pngikut syiah di dekat Bukhara, asia tengah, ibn sina juga dipengaruhi oleh kaum ismaili yang sering datang dan beradu argumentasi dengan ayahnya. Dia tumbuh sebagai anak yang berbakat ketika berusia enam belas tahun, dia menjadi penasihat bagi [para ahli kedokteran penting, dan pada usia delapan belas tahun dia telah menguasi matematika, logika, dan fisika. Namun, dia mengalami kesulitan emahami filsafat Aristoteles dan baru memperoleh kejelasan setelah membaca karya Al-Frabi Intentions of Aristotle’s Metaphysic. Dia hidup sebagai seornag dokter paripatetik, berkelana ke seluruh pelosok negeri islam, dan bergabung/bergantung kepada pemberi santunan. Pada suatu ketika, dia menjadi wazir di pemerintahan dinasti buwaihi yang syiah di wilayah iran barat dan irak selatan sekarang. Sebagai intelektual yang brilian dan cemerlang, ibn sina bersikap rendah hati. Dia juga seorang yang sensualis dan konon meninggal dunia ckup muda usia 58 tahun.
Ibn sina menyadari bahwa falsafah perlu disesuaikan dengan perubahan keadaan yang tengah melanda imperium islam. Kekhalifahan bani abbas sedang megalami kemunduran sehingga tak lagi mudah untuk melihat neagra kekhalifahan sebagai masyarakat ideal. Filosofis seperti yang digambarkan oleh plato dalam republic. Secara alamiah, ibn sina menaruh simpati kepada neoplatonisme falsafah, yang diislamisasikan dengan lebih sukses dibandingkan para falyasuf mana sebelumnya. Dia yakin bahwa jika falsafah ingin membuktikkan klaimnya untuk menghadirkan gambaran utuh tentang ralitas, ia mesti memberikan pemahaman yang lebih baik tentang realitas, ia mesti memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keyakinan agama kepada masyrakat awam, yang dari sudut pandang mana pun merupakan fakta utama dalam kehidupan politik, social, dan pribadi, ibn sina tidak memandang agama wahyu sebagai versi inferior dari falsafah, tetapi berpendapat bahwa seorng nabi, seperti Muhammad lebih tinggi derajatnya dari pada filosof mana pun akrean dia tidak bergantung kepada akal mansuai, tatpi memperoleh pengetahuan langsung dan intuitif dari tuhan. Ini mirip dengan pengalaman mistik kaum sufi dan pernah disebut Plotinus sebagai bentuk kearifan tertinggi. Namun, tidak berarti bahwa akal sama sekali tidak memiliki penalaran tentang tuhan.
Ibn sina memberikan demonstrasi rasional tentang eksistensi tuhan berdasarkan bukti-bukti aristoteles yang kemudian menjadi standar di kalangan filosof yudaisme maupun islam pada akir abad pertengahan. Ibn sina maupun para faylasuf sama sekali tidak menaruh keraguan tentang keberadan tuhan. Mereka tak pernah ragu bahwa akal manusia tanpa bantuan wahyu dapat tiba pada pengetahuan tentang eksistensi wujud tertinggi. Akal, karena akal, dapat memperhalus konsepsi tentang tuhan. Tuhan serta membebaskannya dari takhayul dan antopomifisme. Ibn sina dan para pengikutnya memikirkan demonstrasi rasional tenang eksistensi tuhan tidak bertentangan dengan kaum teis dalam pengertian kita atas kata itu. Mereka ingin menggunakan akal untuk menemukan sebanyak yang mereka bisa tentang hakikat tuhan.
Bukti-bukti ibn sina dimulai dengan pertimbangan tentang cara pikiran kita bekerja. ke mana punkita mngarahkan pandangan di dunia ini, kita melihat wujud-wujud senyawa yang terdiri dari sejumlah unsure berbeda. Sebuah pohon, misalnya, terdiri dari kayu, kulit kayu, getah, dan daun. Kaetika kita menciba untuk mengerti sesuatu, kita menganalisisnya memecahnya ke dalambagian-bagian komponennya hingga tak ada lagi pembagian yang mungkin. Unsur-unsur sederhana menjadi primer bagi kita dan wujud senyawa yang dibentuk oleh unsure-unsur sederhana menjadi primer bagi kita dan wujud senyawa yang dibentuk oleh unsur-nsur sekunder. Oleh karena itu, kita terus-menerus mencari penyederhanaan bahkan untuk wujud-wujud yang tidak bisa di reduksi lagi. Adalah aksioma falsafah bahawa realitas membentuk yang koheren secara logis: itu berarti bahwa pencarian tanpa akhir kita akan kesederhanaan pastilah mencerminkan keadaan pada skala besarnya. Seperti seluruh penganut platonic, ibn sina merasakan bahwa kemajemukan yang kita lihat di sekelilingkita pasti bergantung pada satuan primal. Karena pikiran kita memang memandang benda-benda senyawa sebagai sekunder dan derivative, kecendrungan ini pasti disebabkan oleh sesuatu di luar pikiran, yaitu realitas yang lebih tinggi dan sederhana.
Sumber Buku: Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, penerbit : Mizan.
Yang di barat di kenal sebagai juklukan Avicenna. Dilahirkan di lingkungan keluarga pngikut syiah di dekat Bukhara, asia tengah, ibn sina juga dipengaruhi oleh kaum ismaili yang sering datang dan beradu argumentasi dengan ayahnya. Dia tumbuh sebagai anak yang berbakat ketika berusia enam belas tahun, dia menjadi penasihat bagi [para ahli kedokteran penting, dan pada usia delapan belas tahun dia telah menguasi matematika, logika, dan fisika. Namun, dia mengalami kesulitan emahami filsafat Aristoteles dan baru memperoleh kejelasan setelah membaca karya Al-Frabi Intentions of Aristotle’s Metaphysic. Dia hidup sebagai seornag dokter paripatetik, berkelana ke seluruh pelosok negeri islam, dan bergabung/bergantung kepada pemberi santunan. Pada suatu ketika, dia menjadi wazir di pemerintahan dinasti buwaihi yang syiah di wilayah iran barat dan irak selatan sekarang. Sebagai intelektual yang brilian dan cemerlang, ibn sina bersikap rendah hati. Dia juga seorang yang sensualis dan konon meninggal dunia ckup muda usia 58 tahun.
Ibn sina menyadari bahwa falsafah perlu disesuaikan dengan perubahan keadaan yang tengah melanda imperium islam. Kekhalifahan bani abbas sedang megalami kemunduran sehingga tak lagi mudah untuk melihat neagra kekhalifahan sebagai masyarakat ideal. Filosofis seperti yang digambarkan oleh plato dalam republic. Secara alamiah, ibn sina menaruh simpati kepada neoplatonisme falsafah, yang diislamisasikan dengan lebih sukses dibandingkan para falyasuf mana sebelumnya. Dia yakin bahwa jika falsafah ingin membuktikkan klaimnya untuk menghadirkan gambaran utuh tentang ralitas, ia mesti memberikan pemahaman yang lebih baik tentang realitas, ia mesti memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keyakinan agama kepada masyrakat awam, yang dari sudut pandang mana pun merupakan fakta utama dalam kehidupan politik, social, dan pribadi, ibn sina tidak memandang agama wahyu sebagai versi inferior dari falsafah, tetapi berpendapat bahwa seorng nabi, seperti Muhammad lebih tinggi derajatnya dari pada filosof mana pun akrean dia tidak bergantung kepada akal mansuai, tatpi memperoleh pengetahuan langsung dan intuitif dari tuhan. Ini mirip dengan pengalaman mistik kaum sufi dan pernah disebut Plotinus sebagai bentuk kearifan tertinggi. Namun, tidak berarti bahwa akal sama sekali tidak memiliki penalaran tentang tuhan.
Ibn sina memberikan demonstrasi rasional tentang eksistensi tuhan berdasarkan bukti-bukti aristoteles yang kemudian menjadi standar di kalangan filosof yudaisme maupun islam pada akir abad pertengahan. Ibn sina maupun para faylasuf sama sekali tidak menaruh keraguan tentang keberadan tuhan. Mereka tak pernah ragu bahwa akal manusia tanpa bantuan wahyu dapat tiba pada pengetahuan tentang eksistensi wujud tertinggi. Akal, karena akal, dapat memperhalus konsepsi tentang tuhan. Tuhan serta membebaskannya dari takhayul dan antopomifisme. Ibn sina dan para pengikutnya memikirkan demonstrasi rasional tenang eksistensi tuhan tidak bertentangan dengan kaum teis dalam pengertian kita atas kata itu. Mereka ingin menggunakan akal untuk menemukan sebanyak yang mereka bisa tentang hakikat tuhan.
Bukti-bukti ibn sina dimulai dengan pertimbangan tentang cara pikiran kita bekerja. ke mana punkita mngarahkan pandangan di dunia ini, kita melihat wujud-wujud senyawa yang terdiri dari sejumlah unsure berbeda. Sebuah pohon, misalnya, terdiri dari kayu, kulit kayu, getah, dan daun. Kaetika kita menciba untuk mengerti sesuatu, kita menganalisisnya memecahnya ke dalambagian-bagian komponennya hingga tak ada lagi pembagian yang mungkin. Unsur-unsur sederhana menjadi primer bagi kita dan wujud senyawa yang dibentuk oleh unsure-unsur sederhana menjadi primer bagi kita dan wujud senyawa yang dibentuk oleh unsur-nsur sekunder. Oleh karena itu, kita terus-menerus mencari penyederhanaan bahkan untuk wujud-wujud yang tidak bisa di reduksi lagi. Adalah aksioma falsafah bahawa realitas membentuk yang koheren secara logis: itu berarti bahwa pencarian tanpa akhir kita akan kesederhanaan pastilah mencerminkan keadaan pada skala besarnya. Seperti seluruh penganut platonic, ibn sina merasakan bahwa kemajemukan yang kita lihat di sekelilingkita pasti bergantung pada satuan primal. Karena pikiran kita memang memandang benda-benda senyawa sebagai sekunder dan derivative, kecendrungan ini pasti disebabkan oleh sesuatu di luar pikiran, yaitu realitas yang lebih tinggi dan sederhana.
Sumber Buku: Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, penerbit : Mizan.
Komentar
Posting Komentar