Disni saya akan mengajak pembaca untuk memahami apa itu Filsafat Manusia dan Ilmu-ilmu tentang manusia? Sebelum kita melangkah pada pembahasan tentang filsafat manusia ada baiknya kita singgung sedikit mengenai perbedaan anatara filsafat manusia dengan ilmu-ilmu tentang manusia.
Di dalam pembahasan ini, secara sempit saya akan membatasi pengertian ilmu-ilmu tentang manusia sebagai ilmu-ilmu yang bersifat positivistic, atau ilmu-ilmu tentang manusia yang di dalam penelitian-penelitian dan penjelasan-penjelasaannya menggunakan model metodologi ilmu-ilmubalam fisik. Akan dijelaskan bagaimana konsekuensi-konsekuensi dari penggunaan metode sperti itu (yang wujud nyatanya berupa metode-metode yang bersifat observasional dan/ eksperimental) yang di dalamnya ilmu-ilmu tentang manusia.
Suatu ilmu yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan penggunaan metode yang bersifat observasional dan/eksperimental, bisa dipastikan mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang positif dan negative sekaligus. Demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Sisi “negatif” (kalau boleh dikatakan demikian) dari ilmu-ilmu tentang manusia, pertama-tama manusia bersangkut-paut hanya dengan aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia, yakni sejauh yang tampak secara empiris dan dapat diselidiki secara observasional dan eksperimental. Aspek-aspek atau dimensi-dimensi di luar pengalaman indrawi, yang tidak dapat di observasi dan eksperimental, Tidak mendapat tempat di dalam ilmu. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu tentang manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia seperti apakah esensi atau hakikat manusia bersifat material atau spriritual ? siapakah sesungguhnya manusia itu dan bagaimana kedudukannya di dalam semesta raya yang maha luas ini ? apakah arti, nilai, atau makna hidup manusia itu ? apakah ada kebebasan pada manusia ? kalau ada, samapai sejauh mana pertanggung jawaban yang harus dipikul oleh manusia itu ? apa sebenarnya yang menjadi tujuan asasi dari hidup manusia ? apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia di dalam dunia yang serba tidak menentu ini ? dan masih banyak lagi pertanyaan yang mendasar lainnya.
Kemudian, cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi fragmatisme keterbatasan metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk melihatvgejala manusia secara utuh dan meyeluruh . hanya aspek-aspek atau bagian-bagain tertentu dari manusia secara utuh dan meyeluruh. Hanya aspek-aspek atau bagian-bagian tertentu dari manusia, yang bisa disentuh oleh ilmu-ilmu tersebut. Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai suatu organisme, dan tidak (atau :enggan) bersentuhan dengan pengalaman-pengalaman subjektif , spiritual, dan eksistensial. Antropologi dan sosiologi dan sosiologi lebih memokouskan diri pada gejala budaya dan pranata sosial manusia dan tidak (atau enggan) bersentuhan dengan pengalaman dan gejala individual. Bahkan didalam satu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialisasi-spesialisasi dalam menelaah sub-sub aspek gejala manusia. Didalam ilmu psikologin misalnya, terdapat cabang-cabang psikologis, seperti psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi komunitas, psikologi industri dan organisasi dan lain sebagainya.
Sumber Buku : Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Zainal Abidin, Penerbit : RosdaKarya Bandung.
Di dalam pembahasan ini, secara sempit saya akan membatasi pengertian ilmu-ilmu tentang manusia sebagai ilmu-ilmu yang bersifat positivistic, atau ilmu-ilmu tentang manusia yang di dalam penelitian-penelitian dan penjelasan-penjelasaannya menggunakan model metodologi ilmu-ilmubalam fisik. Akan dijelaskan bagaimana konsekuensi-konsekuensi dari penggunaan metode sperti itu (yang wujud nyatanya berupa metode-metode yang bersifat observasional dan/ eksperimental) yang di dalamnya ilmu-ilmu tentang manusia.
Suatu ilmu yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan penggunaan metode yang bersifat observasional dan/eksperimental, bisa dipastikan mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang positif dan negative sekaligus. Demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Sisi “negatif” (kalau boleh dikatakan demikian) dari ilmu-ilmu tentang manusia, pertama-tama manusia bersangkut-paut hanya dengan aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia, yakni sejauh yang tampak secara empiris dan dapat diselidiki secara observasional dan eksperimental. Aspek-aspek atau dimensi-dimensi di luar pengalaman indrawi, yang tidak dapat di observasi dan eksperimental, Tidak mendapat tempat di dalam ilmu. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu tentang manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia seperti apakah esensi atau hakikat manusia bersifat material atau spriritual ? siapakah sesungguhnya manusia itu dan bagaimana kedudukannya di dalam semesta raya yang maha luas ini ? apakah arti, nilai, atau makna hidup manusia itu ? apakah ada kebebasan pada manusia ? kalau ada, samapai sejauh mana pertanggung jawaban yang harus dipikul oleh manusia itu ? apa sebenarnya yang menjadi tujuan asasi dari hidup manusia ? apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia di dalam dunia yang serba tidak menentu ini ? dan masih banyak lagi pertanyaan yang mendasar lainnya.
Kemudian, cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi fragmatisme keterbatasan metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk melihatvgejala manusia secara utuh dan meyeluruh . hanya aspek-aspek atau bagian-bagain tertentu dari manusia secara utuh dan meyeluruh. Hanya aspek-aspek atau bagian-bagian tertentu dari manusia, yang bisa disentuh oleh ilmu-ilmu tersebut. Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai suatu organisme, dan tidak (atau :enggan) bersentuhan dengan pengalaman-pengalaman subjektif , spiritual, dan eksistensial. Antropologi dan sosiologi dan sosiologi lebih memokouskan diri pada gejala budaya dan pranata sosial manusia dan tidak (atau enggan) bersentuhan dengan pengalaman dan gejala individual. Bahkan didalam satu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialisasi-spesialisasi dalam menelaah sub-sub aspek gejala manusia. Didalam ilmu psikologin misalnya, terdapat cabang-cabang psikologis, seperti psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi komunitas, psikologi industri dan organisasi dan lain sebagainya.
Sumber Buku : Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Zainal Abidin, Penerbit : RosdaKarya Bandung.
Komentar
Posting Komentar