Filsafat Manusia atau antropologi filsafati adalah bagian integral dari system filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Sebagai bagain dari system filsafat, secara metodis ia mempunyai kedudukan yang kurang labih setara dengan cabangcabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, epistimologi, filsafat social, dan estetika. Tetapi secara ontologism (berdasarkan pada objek kajiannya, ia mempunyai kedudukan yang relative lebih penting , karena semua cabang filsafat tersebut pada prinsipnya bermuara pada persolan asasi mengenai esensi manusia, yang tidak lain merupakan persoalan asasi mengenai esensi manusia, yang tidak lain merupakan persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia.
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih “sejajar” juga, terutama kalau dilihat dari objek materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia (misalnya saja psikologi dan antropologi) adalah gejala manusia, pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki, menginterpretasi, dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia. Ini berarti bahwa gejala atau ekpresi manusia, baik merupakan objek kajian untuk filsafat manusia maupun untuk ilmu-ilmu tentang manusia.
Akan tetapi ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis “ilmu” tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Secara umum dapat dikatakan, bahwa setiap cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala empiris, yang bersifat “objektif” dan bisa diukur dan gejala itu kemudian di selidiki dengan menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau eksperimental. Sebaliknya, filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau jenis gejala apapun tentang manusia, sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spriritual, dan universal dari manusia, yang tidak bisa diobservasi dan diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa menjadi bahan kajian terpenting bagi filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-diemensi atau nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang hendak dipikirkan, dipahami, da diungkap maknanya oleh filsafat manusia.
Karena luas dan tidak terbatasnya gejala manusiawi yang diselidiki oleh filsafat manusia, maka tidak mungkin ia menggunakan metode yang bersifat obervasional dan/ atau eksperimental. Observasi dan eksperimentasi hanya mungkin dilakukan, kalau gejalahnya bisa diamati (empiris), bisa diukur (misalnya dengan menggunakan metode statistik), dan bisa dimanipulasi (misalnya di dalam ekpserimen-eksperimen di laboratoium). Sedangkan, spek-aspek atau dimensi-dimensi metafisis, spriritual, dan universal hanya bisa diselidiki dengan menggunakan metode yang lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan refleksi. Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di dalam filsafat manusia, pada akhirnya, jauh lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau teori yang didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang manusia.
Sumber Buku : Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Zainal Abidin, Penerbit: Bandung RosdaKarya
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih “sejajar” juga, terutama kalau dilihat dari objek materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia (misalnya saja psikologi dan antropologi) adalah gejala manusia, pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki, menginterpretasi, dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia. Ini berarti bahwa gejala atau ekpresi manusia, baik merupakan objek kajian untuk filsafat manusia maupun untuk ilmu-ilmu tentang manusia.
Akan tetapi ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis “ilmu” tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Secara umum dapat dikatakan, bahwa setiap cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala empiris, yang bersifat “objektif” dan bisa diukur dan gejala itu kemudian di selidiki dengan menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau eksperimental. Sebaliknya, filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau jenis gejala apapun tentang manusia, sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spriritual, dan universal dari manusia, yang tidak bisa diobservasi dan diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa menjadi bahan kajian terpenting bagi filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-diemensi atau nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang hendak dipikirkan, dipahami, da diungkap maknanya oleh filsafat manusia.
Karena luas dan tidak terbatasnya gejala manusiawi yang diselidiki oleh filsafat manusia, maka tidak mungkin ia menggunakan metode yang bersifat obervasional dan/ atau eksperimental. Observasi dan eksperimentasi hanya mungkin dilakukan, kalau gejalahnya bisa diamati (empiris), bisa diukur (misalnya dengan menggunakan metode statistik), dan bisa dimanipulasi (misalnya di dalam ekpserimen-eksperimen di laboratoium). Sedangkan, spek-aspek atau dimensi-dimensi metafisis, spriritual, dan universal hanya bisa diselidiki dengan menggunakan metode yang lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan refleksi. Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di dalam filsafat manusia, pada akhirnya, jauh lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau teori yang didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang manusia.
Sumber Buku : Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Zainal Abidin, Penerbit: Bandung RosdaKarya
Komentar
Posting Komentar