Gagasan pembaruan adalah ide dasar dalam gerakan civil society. Ia yang menginspirasi, ia pula yang menjadi ukuran eksis tidaknya gerakan tersebut di kemudian hari. Sebagai sumber potensi lahirnya gerakan civil society dalam kehidupan publik, dunia pendidikan mestilah merupakan ruang yang harus menjadi prioritas utamanya. Bahwa tak ada bangsa yang berperadaban tanpa orang-orang terdidik; tak ada masyarakat terdidik tanpa semaian gagasan pembaruan; begitupun tak ada gagasan pembaruan tanpa gerakan civil society; dan selanjutnya tak ada gerakan rill semacam ini tanpa peran serta dunia pendidikan.
Dunia pendidikan tidaklah melulu berupa sekolah-sekolah formal saja, misalnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti yang hari ini menjamur di kota pendidikan Yogyakarta. Tetapi dunia pendidikan, menurut istilah yang sudah lama kita kenal, adalah “universitas kehidupan” di mana di dalamnya bernaung beragam macam kelompok pembaru, baik berupa komunitas diskusi, lembaga swadaya kultural, maupun ruang-ruang kepustakaan. Adalah niscaya mengapa kita harus menggagas aspek pembaruan dalam Majalah Nusantara edisi kali ini (Juli – Agustus 2016). Di samping mengingat pentingnya gagasan pembaruan bagi setiap lini kehidupan masyarakat yang ada, baik di wilayah ekonomi, politik, terutama sosial, budaya dan keagamaan, gagasan ini juga penting sebagai sebentuk respon atas maraknya tindak-tindak yang semestinya tak bersua dalam kehidupan bermasyarakat kita. Ya, hingga kini, konflik internal bangsa kita masih sangat membumi. Realitas yang demikian terus dan bisa terjadi kapan dan di mana saja. Mulai dari praktik kekerasan dalam rumah tangga, tawuran antar-pelajar di sekolah-sekolah, cekcok kepentingan elit politik, sampai pada kekerasan yang melibat-sertakan kaum agamawan, seperti konflik Syiah-Sunni, kasus Ahmadiyah, sampai kepada kasus-kasus yang menimpa kelompok marginal dan minoritas lainnya, seperti anak-anak dan perempuan, dan kaum LGBT.
Tentu, konflik internal tersebut tak sekadar berujung pada praktik kekerasan secara fisik saja, ataupun secara struktural. Tetapi yang terparah adalah bahwa konflik tersebut juga membumi secara kultural. Yang terakhir inilah yang harus patut mendapat perhatian lebih besar. Karena memang, kekerasan secara kultural adalah sebab yang memicu lahirnya konflik-konflik yang melibatkan fisik, sekaligus memungkinkan runtuhnya konsep integrasi berbangsa kita sendiri.
Sebagai salah satu media yang juga perannya sangat dibutuhkan dalam pengentasan persoalan krusial tersebut di atas, terutama soal-soal yang dapat menghambat cita-cita persatuan seperti kekerasan, Majalah Nusantara tak segan mengangkat satu tema yang dianggap bisa dijadikan solusi. Kami beranggapan bahwa gagasan tentang pembaruan, dalam hal ini pembaruan di wilayah pemikian (keagamaan), menjadi hal yang sangat urgent untuk kami tilik secara utama. Sebab kita tak bisa pungkiri bahwa konflik internal yang terjadi bukan karena banyaknya orang-orang jahat, melainkan juga banalnya (dangkalnya) konsep bermasyarakat kita sendiri dalam memaknai perbedaan (multikulturalitas) yang ada.
Dalam menggagas ide pembaruan pemikiran ini, penting untuk kami kedepankan apa makna dari keberagaman bangsa Indonesia. Di samping itu, tujuan keberadaannya bagi keberadaan bangsa Indonesia sendiri juga menjadi perhatian besar dalam keseluruhan isi Majalah Nusantara edisi kali ini. Tak terkecuali kami juga menyasar tentang bagaimana upaya perealisasian tujuan tersebut dalam konteks keberagaman. Semoga dengan hadirnya beragam rubrik yang secara umum menekankan tema di setiap bahasannya ini, menjadi inspirasi kita bersama dalam membentuk gerakan-gerakan civil society. Janganlah berpikir untuk peng-eksistensi-annya hingga di kemudian hari. Tapi mulailah hari ini sebab ia adalah cermin lahirnya masa depan yang kita dambakan.
Selamat berpikir dan bergerak!
Komentar
Posting Komentar