Konsep nilai guna dan nilai tukar yang ditawarkan Karl Marx dalam melihat kapitalisme di era industri nampak sudah usang. Kini, kapitalisme merupakan canon yang memproduksi tanda dan simbol terus menerus tanpa henti di era informasi.
Di era industri, Marx menawarkan kepada dunia untuk melihat proses kapitalisme dari konsep nilai guna dan nilai tukar. Dalam pandangan Marx, nilai guna (utility value) adalah sebuah nilai yang diwakili oleh kegunaan suatu objek tertentu. Baju ketika dilihat dari nilai guna, maka yang terlihat adalah kegunaan baju tersebut sebagai penutup badan. Sedangkan nilai tukar (exchange value) adalah harga suatu produk di pasar. Nilai tukar inilah yang kemudian disebut Marx sebagai bentuk komoditas dari objek tertentu.
Gagasan Marx mengenai konsep nilai guna dan nilai tukar kemudian menemukan kebuntuan untuk menjelaskan realitas konsumsi yang dikendalikan oleh kapitalisme mutakhir di era ini. Kritik tentang nilai guna dan nilai tukar Marx dikemukakan oleh Jean Baudrillard. Dalam pandangan Baudrillard, masyarakat konsumsi di era kapitalisme mutakhir tidak lagi sekadar mengkonsumsi nilai guna dan nilai tukar. Lebih dari itu, masyarakat kini beralih pada konsumsi nilai tanda dan nilai simbolik.
Baudrillard sendiri dalam karyanya yang berjudul The System of Object (1988) mengemukakan bahwa suatu objek untuk menjadi objek konsumsi, terlebih dulu objek harus menjadi (dilihat) sebagai tanda. Oleh karena itu, untuk memahami makna konsumsi, kita harus memahami objek sebagai serangkaian tanda-tanda. Hal ini dikarenakan kapitalisme mutakhir telah melengkapi objek komoditasnya dengan seperangkat tanda dan simbol.
Tanda atau simbol sangat mungkin untuk dikonsumsi berkat adanya media. Dalam hal ini, media sangat berperan penting untuk membentuk sebuah citraan terkait suatu objek di pikiran masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Guy Debord, masyarakat kita adalah masyarakat konsumsi dan masyarakat penonton yang sebagian besar waktunya habis di depan televisi dan internet. Penonton di sini tidak mengenal batasan usia. Para pemuda yang berstatus pelajar tak luput dari pengaruh media.
Pendidikan dan Konsumerisme Simbolik
Dunia pendidikan tidaklah lepas dari cengkeraman kapitalisme. Beragam simbol diperjual-belikan kepada mereka yang berusia pelajar. Konsumsi para pelajar hari ini bukan hanya sekadar melihat nilai guna dan nilai tukar seperti dikemukakan Marx. Lebih dari itu, pelajar yang membeli tas, sepatu, dan buku tulis kini beralih untuk melihat nilai tanda dan nilai simboliknya.
Kebutuhan akan transportasi pun kini membalut para pelajar. Motor dan mobil diproduksi secara terus menerus oleh beragam canon kapitalisme. Hari ini, sekolah justru seolah-olah menjadi sebuah showroom pameran kendaraan bermotor. Pembangunan gedung sekolah hari ini seolah hanya menambah ruang untuk parkir, bukan menambah kualitas pendidikan. Pembelian Kawasaki Ninja bukanlah serta merta memandang dari nilai guna dan nilai tukar belaka. Di sini, Kawasaki Ninja dicitrakan oleh media lewat iklan-iklan dengan citra gagah, maskulin, kaya. Citra inilah yang kemudian dikonsumsi oleh para pelajar. Jadilah Kawasaki Ninja ini laris manis di pasaran Nusantara.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah, seperti yang ditulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, Semiotika dan Hypersemiotika (Pilliang, 2012: 143), “...di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Ketika logika hasrat yang digunakan para pelajar terus menerus dipenuhi demi sebuah kepuasan, maka kepuasan yang timbul adalah kepuasan semu.
Memuaskan hasrat adalah sebuah bentuk keinginan utopis. Hal ini dikarenakan hasrat hanya akan menghasilkan hasrat yang lebih tinggi. Kepuasan adalah sebuah bentuk semu yang ditawarkan oleh kapitalisme kepada para konsumen yang mengkonsumsi tanda dan simbol. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari dalam karyanya yang berjudul Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (1977), “hasrat tidak akan pernah terpuaskan, oleh karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa yang disebut sebagai mesin hasrat (desiring machine)”.
Para pelajar yang mengedepankan logika hasrat demi konsumsi tanda dan simbol tidak akan pernah puas akan kondisinya. Ini dikarenakan memuaskan logika hasrat hanya akan membuka kekurangan-kekurangan dari dirinya. Pelajar yang membeli Iphone 4 sejenak akan merasa terpuaskan. Namun selang beberapa bulan kemudian, ketika Iphone 5 sudah dipasarkan, dia akan melihat kekurangan dari Iphone 4 yang dimilikinya dan kemudian hasratnya akan muncul kembali untuk membeli yang lebih dari Iphone 5. Akan tetapi, yang dibeli bukanlah nilai guna dan nilai tukar belaka, melainkan nilai tanda dan nilai simbolik yang dimiliki Iphone 5.
Logika hasrat yag digunakan oleh pelajar masa kini hanya akan mendorong produksi tanda dan simbol tanpa henti. Dunia akan menjadi sebuah ajang simulasi tanda tanpa henti. Produksi dan reproduksi tanda akan terus berlangsung selama logika hasrat masih dikedepankan. Inilah keberhasilan kapitalisme mutakhir. Bukan hanya kelas menengah dan atas saja yang menjadi incaran. Kelas bawah pun kini ikut terbawa arus yang dibuat kapitalisme mutakhir.
Komentar
Posting Komentar