Pada masa sekarang, orang memandang sains dan filsafat sebagai dua hal yang bertentangan dengan agama. Akan tetapi, para fylasuf biasanya adalah orang-orang saleh dan memandang diri mereka sebagai putra-putra setia nabi. Sebagai muslim yang baik, mereka sadar politik, tidak menyenangi gaya hidup mewah kaum penguasa, dan ingin memperbarui masyarakat sesuai dengan akal sehat. Mereka mengupayakan sesuatu yang penting: karena studi ilmiah dan filosofis mereka didominasi oleh pemikiran yunani, mereka perlu rasionalistik dan objektif ini. Sangatlah tidak tepat untuk menurunkan tuhan ketingkat ketegori intelektual tersendiri dan memandang keimanan berada pada lingkup yang terpisah dari persolan kemanusiaan lainnya. Para faylasuf tidak bermaksud menghapuskan agama, tetapi ingin menyucikannya dari apa yang mereka pandang sebagai unsure-unsur primitive dan parokial. Mereka tidak punya keraguan tentang keberdaan tuhan tetapi merasa bahwa hal ini perlu dibuktikan secara logis untuk memperlihatkan bahwa allah selaras dengan nilai rasionalistik yang mereka pegang. Akan tetapi disini terdapat bebrapa persoalan. Kita telah melihat bahwa tuhan menurut para filosof yunani sangat berbeda dari tuhan menurut wahyu: Tuhan Aristoteles atau Plotinus tak berwaktu dan tak bergeming: dia tidak menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian duniawi, tidak mewahyukan dirinya dalam sejarah, tidak pernah menciptakan alam, dan tidak akan mengadili di hari kiamat. Bahkan sejarah, teofani utama menurut keyakinan monoteitik, telah disisihkan oleh Aristoteles sebagai bidang kajian yang lebih rendah dibandingkan dengan filsafat.
Tak ada awal, tengah, atau akhir kerena kosmos memancar secara abadi dari tuhan. Para faylasuf ingin melampaui sejarah, yang sekedar ilusi untuk menyikap dunia ilahiah yang ideal dan tak berubah. Meski ada penekanan pada rasionalitas, falsafah menuntut keimanan tersendiri. Dibutuhkan keberanian besar untuk menyakini bahwa kosmos, yang lebih menyerupai tempat kekacuan dan penderitaan daripada tatanan yang bertujuan ini, sebenarnya diatur oleh hokum akal. Mereka juga harus menumbuhkan rasa bermakna di tengah bencana dan kegaluan yang sering terjadi di dunia sekitar mereka. Ada keangungan dalam falsafah, yakni pencarian objektivitas dari visi yang tak lekang oleh waktu. Mereka menginginkan sebuah agama universal, yang tak dibatasi oleh manifestasi ketuhanan tertentu atau berakar pada ruang dan waktu tertentu: mereka yakin adalah kewajiban mereka untuk menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam idiom lebih maju yang akan dikembangkan sepanjang masa oleh pikiran-pikiran yang terbaik dan termulia di seluruh budaya. Alih alih memandang tuhan sebagai misteri, para faylasuf percaya bahawa tuhan adalah akal murni.
Kepercayaan terhadap alam yang sepenuhnya bersifat rasional seperti ini tampak naïf di zaman kita sekarang karena berbagai penemuan ilmiah kemudian menunjukkan ketidaklaikan bukti tentang eksistensi tuhan yang diketengahkan oleh Aristoteles. Prespektif ini tak mungkin lagi dianut oleh siapa pun yang hidup pada abad kesembilan dan kesepuluh, namun pengalaman falsafah tetap relevan bai persolan keagamaan yang kita hadapi sekarang. Revolusi ilmiah pada periode dinasti Abbasiyah telah melibatkan para pesertanya dalam kesibukkan yang bukan sekedar berupa pengumpulan informasi baru. Sebagaimana pada masa kita sekarang ini, penemuan ilmiah menuntut penumbuhan mentalitas berbeda yang mengubah cara kita memandang dunia. Sains menuntut kepercayaan fundamental tentang adanya penjelasan rasional atas segala sesuatu: sains juga membutuhkan imajinasi dan keberanian yang tidak bebeda dengan kreativitas keagamaan. Seperti nabi atau sufi, seorang ilmuwan juga mendorong dirinya berhadapn dengan wilayah realitas non-makluk yang tak tertembus dan tak terduga. Dalam cara yang sama visi ilmiah pada mas kta sekarang ini telah banyak membuat teisme klasik menjadi mustahil bagi banyak orang. Berpegang teguh pada teologi lama bukan hanya pengecutan, melainkan juga dapat mengakibatkan hilangnya integritas. Para falyasuf berupaya memadukan pandangan-pandangan baru mereka dengan arus utama keyainan islam dan menghasilkan beberapa gagasan revolusioner tentang tuhan yang diilhami oleh yunani, sungguhpun demikian, kegagalan besar konsepsi ketuhanan mereka yang rasional mengandung pelajaran pening bagi kita mengenai hakikat kebenaran agama.
Sumber Buku: Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, penerbit: Mizan
Tak ada awal, tengah, atau akhir kerena kosmos memancar secara abadi dari tuhan. Para faylasuf ingin melampaui sejarah, yang sekedar ilusi untuk menyikap dunia ilahiah yang ideal dan tak berubah. Meski ada penekanan pada rasionalitas, falsafah menuntut keimanan tersendiri. Dibutuhkan keberanian besar untuk menyakini bahwa kosmos, yang lebih menyerupai tempat kekacuan dan penderitaan daripada tatanan yang bertujuan ini, sebenarnya diatur oleh hokum akal. Mereka juga harus menumbuhkan rasa bermakna di tengah bencana dan kegaluan yang sering terjadi di dunia sekitar mereka. Ada keangungan dalam falsafah, yakni pencarian objektivitas dari visi yang tak lekang oleh waktu. Mereka menginginkan sebuah agama universal, yang tak dibatasi oleh manifestasi ketuhanan tertentu atau berakar pada ruang dan waktu tertentu: mereka yakin adalah kewajiban mereka untuk menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam idiom lebih maju yang akan dikembangkan sepanjang masa oleh pikiran-pikiran yang terbaik dan termulia di seluruh budaya. Alih alih memandang tuhan sebagai misteri, para faylasuf percaya bahawa tuhan adalah akal murni.
Kepercayaan terhadap alam yang sepenuhnya bersifat rasional seperti ini tampak naïf di zaman kita sekarang karena berbagai penemuan ilmiah kemudian menunjukkan ketidaklaikan bukti tentang eksistensi tuhan yang diketengahkan oleh Aristoteles. Prespektif ini tak mungkin lagi dianut oleh siapa pun yang hidup pada abad kesembilan dan kesepuluh, namun pengalaman falsafah tetap relevan bai persolan keagamaan yang kita hadapi sekarang. Revolusi ilmiah pada periode dinasti Abbasiyah telah melibatkan para pesertanya dalam kesibukkan yang bukan sekedar berupa pengumpulan informasi baru. Sebagaimana pada masa kita sekarang ini, penemuan ilmiah menuntut penumbuhan mentalitas berbeda yang mengubah cara kita memandang dunia. Sains menuntut kepercayaan fundamental tentang adanya penjelasan rasional atas segala sesuatu: sains juga membutuhkan imajinasi dan keberanian yang tidak bebeda dengan kreativitas keagamaan. Seperti nabi atau sufi, seorang ilmuwan juga mendorong dirinya berhadapn dengan wilayah realitas non-makluk yang tak tertembus dan tak terduga. Dalam cara yang sama visi ilmiah pada mas kta sekarang ini telah banyak membuat teisme klasik menjadi mustahil bagi banyak orang. Berpegang teguh pada teologi lama bukan hanya pengecutan, melainkan juga dapat mengakibatkan hilangnya integritas. Para falyasuf berupaya memadukan pandangan-pandangan baru mereka dengan arus utama keyainan islam dan menghasilkan beberapa gagasan revolusioner tentang tuhan yang diilhami oleh yunani, sungguhpun demikian, kegagalan besar konsepsi ketuhanan mereka yang rasional mengandung pelajaran pening bagi kita mengenai hakikat kebenaran agama.
Sumber Buku: Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, penerbit: Mizan
Komentar
Posting Komentar