Lanjutan, Falsafah ibn sina
Para filosof berpandangan sama dengan Al-Quran bahwa tuhan adalah kesederhanaan itu sendiri: tuhan itu satu. Oleh karena it, tuhan tidak bisa dianalisis atau dipecah-pecah ke dalam komponenatau sifat-sifat. Karena wujud ini secara mutlak sederhana, tidak memiliki sebab, tidak berdimensi temporal, dan tak ada sama sekali sesuatu yang bisa dikatakan mengenainya. Tuha tidak bisa menjadi objek pemikiran diskursif, karena otak kita tidak bisa mencakup tuhan seperti caranya mencakup hal-hal lain. Karena tuhan itu secara esensial unik, dia tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun yang ada dalam pengertian yang normal. Akibatnya, tatkala kita berbicara tentang tuhan, lebih baik kita menggunakan pernyataan negative untuk membedakannya secara mutlak dari semua hal lain yang kita bicarakan. Namun, karena tuhan merupakan sumber segala sesuatu, kita dapat empostulatkan hal tertentu tentang dia. Karena kita tahu bahwa kebaikan itu ada, maka tuhan pastilah hidup, kuat, dan mengetahui dalam cara yang paling esensial dan sempurna. Aristoteteles telah mengajarkan bahwa karena tuhan adalah akal murni pada saat yang sma merupakan tindak penelaran serta objek dan subjeknya sekaligus dia hanya mungkin berpikir sementara dan lebih rendah. Ini tidak sesuai dengan gambaran tentang tuhan did lam wahyu yang menyebut bahwa tuhan mengetahui segala sesuatu, hadir dan aktif dalam tatanan makhluk.
Ibn sina menguapayakan sebuah kompromi: tuhan terlalu agung untuk untuk turun ke taraf mengetahui makhluk-makhluk yan hina dan particular seperti manusia dan segala perbuatannya. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, “ada hal-hal yang lebih baik tidak dilihat daripada dilihat.” Tuhan tidak mungkin mencermari dirinya dengan detail-detail kehidupanya di bumi yang remeh dan sangat rendah. Namun, di dalam aktivitas pengenalan dirinya yang abadi, tuhan mengetahui segala sesuatu yang beremanasi darinya dan yang telah diberinya wujud. Tuhan mengetahui bahwa dia adalah sebab bagi makhluk-makhluk fana. Pemikirannya sangat sempurna sehingga berpikir dan bertindak merupakan satu aksi yang sama. Kontemplasi abadinya tentang dirinya sendiri menimbulkan proses emanasi seperti yang telah dijelaskan oleh falyasuf. Akan tetapi, tuhan mengetahui kita dan dunia kita hanya secara umum dan universal: dia tidak berurusan dengan yang particular.
Sungguhpun demikian, ibn sina tidak puas dengan penjelasan abstrak tentang kodrat tuhan ini: dia ingin menghubungkannya dengan pengalaman keagamaan kaum beriman, para suf, dan kaum batini. Karena tertarik pada psikologi agama, dia menggunakan skema emanasi plotinian untuk menjelaskan pengalaman kenabian. Pada setiap sepuluh fase emanasi wujud dari yang esa, ibn sina berspekulasi bahwa sepuluh akal murni itu, bersama denganjiwa-jiwa atau malaikat-malaikat yang menggerakkan kesepuluh bidang ptolemik, membentuk sebuah alam menengah antara manusia dan tuhan, yang bersesuaian dengan dunia realitas arketipe yang diimajinasikan oleh kaum batini. Akal-akal ini juga memiliki imajinasi: bahkan mereka adalah imajinasi dalam keadaan murninya. Melalui alam penengah inilah bukan melalui akal diskursif manusia dapat mencapai pengenalan paling lengkap tentang tuhan. Akal paling akhir cakrawala kita yakini, akal kesepuluh adalah malaikat pembawa wahyu, yang dikenal sebagai jibril, sumber cahaya dan pengetahuan. Jiwa manusia tersusun dari akal praktis yang berhubungan dengan dunia ini, dan akal kontemplatif yang mampu hidup berdampingan dengan malaikat jibril.
Sumber Buku: Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, Penerbit: Mizan.
Para filosof berpandangan sama dengan Al-Quran bahwa tuhan adalah kesederhanaan itu sendiri: tuhan itu satu. Oleh karena it, tuhan tidak bisa dianalisis atau dipecah-pecah ke dalam komponenatau sifat-sifat. Karena wujud ini secara mutlak sederhana, tidak memiliki sebab, tidak berdimensi temporal, dan tak ada sama sekali sesuatu yang bisa dikatakan mengenainya. Tuha tidak bisa menjadi objek pemikiran diskursif, karena otak kita tidak bisa mencakup tuhan seperti caranya mencakup hal-hal lain. Karena tuhan itu secara esensial unik, dia tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun yang ada dalam pengertian yang normal. Akibatnya, tatkala kita berbicara tentang tuhan, lebih baik kita menggunakan pernyataan negative untuk membedakannya secara mutlak dari semua hal lain yang kita bicarakan. Namun, karena tuhan merupakan sumber segala sesuatu, kita dapat empostulatkan hal tertentu tentang dia. Karena kita tahu bahwa kebaikan itu ada, maka tuhan pastilah hidup, kuat, dan mengetahui dalam cara yang paling esensial dan sempurna. Aristoteteles telah mengajarkan bahwa karena tuhan adalah akal murni pada saat yang sma merupakan tindak penelaran serta objek dan subjeknya sekaligus dia hanya mungkin berpikir sementara dan lebih rendah. Ini tidak sesuai dengan gambaran tentang tuhan did lam wahyu yang menyebut bahwa tuhan mengetahui segala sesuatu, hadir dan aktif dalam tatanan makhluk.
Ibn sina menguapayakan sebuah kompromi: tuhan terlalu agung untuk untuk turun ke taraf mengetahui makhluk-makhluk yan hina dan particular seperti manusia dan segala perbuatannya. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, “ada hal-hal yang lebih baik tidak dilihat daripada dilihat.” Tuhan tidak mungkin mencermari dirinya dengan detail-detail kehidupanya di bumi yang remeh dan sangat rendah. Namun, di dalam aktivitas pengenalan dirinya yang abadi, tuhan mengetahui segala sesuatu yang beremanasi darinya dan yang telah diberinya wujud. Tuhan mengetahui bahwa dia adalah sebab bagi makhluk-makhluk fana. Pemikirannya sangat sempurna sehingga berpikir dan bertindak merupakan satu aksi yang sama. Kontemplasi abadinya tentang dirinya sendiri menimbulkan proses emanasi seperti yang telah dijelaskan oleh falyasuf. Akan tetapi, tuhan mengetahui kita dan dunia kita hanya secara umum dan universal: dia tidak berurusan dengan yang particular.
Sungguhpun demikian, ibn sina tidak puas dengan penjelasan abstrak tentang kodrat tuhan ini: dia ingin menghubungkannya dengan pengalaman keagamaan kaum beriman, para suf, dan kaum batini. Karena tertarik pada psikologi agama, dia menggunakan skema emanasi plotinian untuk menjelaskan pengalaman kenabian. Pada setiap sepuluh fase emanasi wujud dari yang esa, ibn sina berspekulasi bahwa sepuluh akal murni itu, bersama denganjiwa-jiwa atau malaikat-malaikat yang menggerakkan kesepuluh bidang ptolemik, membentuk sebuah alam menengah antara manusia dan tuhan, yang bersesuaian dengan dunia realitas arketipe yang diimajinasikan oleh kaum batini. Akal-akal ini juga memiliki imajinasi: bahkan mereka adalah imajinasi dalam keadaan murninya. Melalui alam penengah inilah bukan melalui akal diskursif manusia dapat mencapai pengenalan paling lengkap tentang tuhan. Akal paling akhir cakrawala kita yakini, akal kesepuluh adalah malaikat pembawa wahyu, yang dikenal sebagai jibril, sumber cahaya dan pengetahuan. Jiwa manusia tersusun dari akal praktis yang berhubungan dengan dunia ini, dan akal kontemplatif yang mampu hidup berdampingan dengan malaikat jibril.
Sumber Buku: Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, Penerbit: Mizan.
Komentar
Posting Komentar