Langsung ke konten utama

Membangun Peradaban Melalui Pendidkkan

Berbicara pendidikan, tentu bukan sekadar mendiskusikan bagaimana perpindahan ilmu dari satu subjek ke subjek lain (transfer of knowledge). Lebih dari itu pendidikan merupakan suatu proses pemberadaban. Proses yang akan menjadikan manusia memahami segala aspek kehidupan etika, estetika dan filsafatnya secara individu, terlebih secara sosial.
Peradaban merupakan pencapaian agung sebuah kebudayaan. Sedang kebudayaan merupakan hasil perpaduan pemahaman dan aktualisasi antara etika (baik-buruk), estetika (indah-jelek), metafisika (ada-tiada) dan filsafat (pengetahuan) di kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita bisa memperolehnya? Tentu saja dengan pendidikan, baik dari proses verbal (tutur), visual (pengamatan) ataupun ritual (praktek).
Tetapi sangat disayangkan, kesadaran sebagian besar masyarakat hari ini, pendidikan dimaknai hanya sebagai kegiatan institusional di lembaga-lembaga pendidikan. Bukankah lembaga pendidikan institusional hanyalah satu dari sekian banyak media pendidikan? Di luar itu semua, ada banyak media pendidikan yang penting, misalnya di dalam keluarga dan masyarakat.
Tetapi baiklah, mari kita lihat pendidikan dalam arti institusional di atas sebagaimana banyak dipahami masyarakat kita (common sense). Sebut saja misalnya, semua lembaga pendidikan institusional ini adalah ‘sekolah’, baik dalam arti sekolah umum, madrasah, pesantren, hingga universitas atau perguruan tinggi dan semacamnya.
Fenomena sekolah saat ini lebih mirip dengan markas tentara daripada ruang pemberadaban. Satu hal yang membedakan adalah tentara dibentuk untuk berperang sedangkan pelajar tidak. Sekolah lebih sebagai wilayah instruksional daripada ruang dialogal. Konsekuensinya, pelajaran di dalam sekolah cenderung tidak ‘membumi’. Tidak memberi pengaruh pada ranah politik, kekuasaan, pendominasian, ekonomi, sosial hingga kemanusiaan. Tidak ada tanggung jawab sosial yang diemban (bahkan ini sering tidak disadari) setelah memperoleh pengetahuan.
Segala kegiatan sekolah diatur dalam aturan-aturan yang mengikat, terbatas dan sempit. Mulai dari konten pembelajaran, strategi mengajar, hingga urusan remeh-temeh, seperti aturan jenis sepatu yang boleh digunakan. Guru menjadi sulit berimprovisasi. Keinginan dan ide-idenya ‘ditutup’ agar sesuai dengan aturan baku menurut kepentingan tertentu. Meskipun begitu, jarang sekali ada guru yang mempertanyakan alasan-alasan, motif dan ideologi macam apa di balik semua itu.
Jenis Pengetahuan
Salah seorang tokoh pendidikan kritis, Henry A. Giroux, mengatakan, ada dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan produktif dan pengetahuan direktif. Pengetahuan produktif adalah pengetahuan yang terkait dengan hal-hal eksak, dapat diukur, dikuantifikasi, diklasifikasi, dikuasai, dan dimanipulasi. Pengetahuan produktif tidak hanya berkaitan dengan sains, ia juga berkaitan dengan ilmu-ilmu di luar itu, selama pengetahuan yang dihasilkan hanya bersifat definitif. Kita ambil contoh sejarah penjajahan di Indonesia. Pengetahuan produktif hanya berada pada wilayah definisi seperti waktu terjadinya penjajahan, siapa yang menjajah dan terjajah, di mana penjajahan terjadi atau bagaimana penjajahan dilakukan. Adapun pengetahuan direktif, sifatnya lebih filosofis. Pengetahuan ini terkait dengan alasan-alasan, seperti mengapa suatu ilmu harus dipelajari. Dalam contoh di atas, pengetahuan direktif memberikan klarifikasi terkait alasan mengapa penjajahan (di Indonesia) terjadi, apa motif para penjajah, latar belakang, sampai ideologi apa yang ada di balik penjajahan itu. Pengetahuan ini akan memberikan kesadaran pada guru dan siswanya tentang manipulasi, marginalisasi, dan kekuatan tersembunyi seperti apa di balik sebuah peristiwa. Bahwa pengetahuan direktif mampu menjawab hal-hal yang tidak diketahui di dalam pengetahuan produktif. Singkatnya, pengetahuan direktif membentuk kesadaran, sedangkan pengetahuan produktif membentuk pengetahuan itu sendiri.
Di dalam pendidikan kita saat ini, banyak konten, metode dan bentuk pembelajaran berisi serta menghasilkan pengetahuan produktif. Pembelajaran yang bertujuan meraih juara lomba sains misalnya, olimpiade dan semacamnya. Pembelajaran yang menekankan hasil praktis, bukan praksis. Hingga tidak heran jika para pelajar kita hanya pandai berhitung, berlogika dan berteori, tetapi tidak ada tendensi sosial-politik atas pengetahuan yang diperolehnya.
Seperti saling mendukung, pemerintah juga menetapkan peringkat sebuah sekolah melalui prestasi-prestasi semacam itu. Seberapa banyak piala, piagam dan setifikat yang didapatkan, seberapa lengkap fasilitas yang tersedia serta seberapa kompeten guru dan siswa, menentukan tinggi-rendahnya peringkat sekolah.
Tidak ada penjelasan serius mengapa pemerintah menetapkan standar semacam itu. Jarang sekali sebuah sekolah diukur dari sejauh mana siswa dan alumninya mampu merubah kondisi kesadaran atau realitas masyarakatnya. Padahal, bukan pengetahuan yang menjadi puncak ilmu (dibuktikan dengan perolehan piala-piala atau piagam-piagam), melainkan aktualisasinya dalam kehidupan nyata, baik terhadap lingkungan, sosial hingga politik. Aktualisasi terhadap kondisi sosial masyarakat (praksis tingkah-laku) inilah yang menjadikan ilmu mencapai puncaknya. Karena tingkah-laku akan membentuk budaya, yang pada gilirannya menjadi sebuah peradaban.
Bisa dibayangkan peradaban seperti apa yang akan terbentuk jika pendidikan hanya menekankan pengetahuan produktif. Pemahaman, tingkah-laku, dan paradigma manusia akan sama seperti kacamata kuda: hanya mampu melihat ke depan, tanpa ada implikasi signifikan bagi sektor kehidupan lain di sekitarnya. Ya, kesadaran yang terbatas dan hanya memiliki satu aspek akan mendominasi eksistensi manusia, seperti yang disampaikan Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man-nya.
Fakta sosial semacam ini bisa dilihat di masyarakat Eropa. Banyak dari negara Eropa yang lebih mengarahkan pendidikannya untuk menghasilkan pengetahuan produktif. Akibatnya, karakter masyarakatnya lebih individualis dalam pola relasinya di masyarakat, terspesialisasi dalam kerjanya, dan tidak berimplikasi sosial dalam pengetahuannya. Masyarakat yang awalnya merupakan masyarakat organis bergeser menjadi masyarakat mekanis, dari yang bekerja secara bersama-sama menjadi sendiri-sendiri.
Arah pendidikan
Meminjam istilah Marxisme, kelas dalam masyarakat terbagi atas borjuis dan proletar. Borjuis, di satu sisi, merupakan kelas eksploitator. Sementara di sisi lain, proletar sebagai kelas yang dieksploitasi. Dan sebagai penegasan, pendidikan seharusnya berangkat dari kondisi-kondisi ketidakadilan yang dialami para proletar. Pendidikan yang mampu membentuk tatanan sosial yang lebih adil, tanpa ketertindasan dan emansipatif.
Meskipun demikian, pendasaran atas kondisi sosial masyarakat proletar tidak serta-merta bertujuan menciptakan dominasi yang baru. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip emansipatif sebagai tujuan pendidikan. Namun, pendasaran tersebut lebih kepada pembentukan kesadaran ketertindasan yang dialaminya sendiri. Artinya, pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari ketertindasannya, sekaligus membebaskan penindas dari sikap menindasnya. Inilah yang disebutkan oleh Paulo Freire bahwa pendidikan bertujuan memanusiakan manusia, bukan mengganti dominasi yang satu dengan dominasi yang lain.
Kesetaraan inilah yang nantinya membantu kita membentuk sebuah peradaban baru. Peradaban yang diperoleh melalui proses pendidikan—proses mengetahui. Bukankah pengetahuan dibutuhkan manusia untuk mengolah alam lingkungannya, mengenali masalah yang dihadapi, menganalisa, hingga mengambil keputusan atasnya? Pengetahuan pada dasarnya membentuk sebuah peradaban. Oleh karena itu, penting bagi setiap lembaga pendidikan untuk tidak hanya menghasilkan pengetahuan produktif, melainkan juga harus dilengkapi dengan pengetahuan direktif. Suatu pengetahuan yang menekankan hakikat ilmu pengetahuan, bukan kulit luarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, RĂ©ne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba