Semakin cepat perkembangan teknologi serta sosial budaya yang membaur dengan cara pandang sebagai masyarakat dunia, tentu kita memahami perbedaan yang signifikan ketika melihatnya dari cara pandang sebagai masyarakat yang berlandaskan lokalitas dan global.
Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar ketika berbicara tentang toleransi. Apakah sebagai masyarakat global kita memandang toleransi sebagai cara pandang semata yang mudah dipengaruhi atau sebagai prinsip hidup sebagai ideologi mutlak di dalam diri seseorang.
Dalam memahami toleransi, acapkali menimbulkan kontroversi. Bagaimana memahami toleransi itu sendiri dalam cara pandang tertentu? Apalagi ketika melihat dari cerminan bahwa masyarakat itu sendiri bukan dari suatu kaum, artinya berdiri berasal dari perbedaan atau pluralisme karena itulah dasar dari cara pandang selalu berbeda? Yang menjadi konteks permasalahan adalah toleransi seperti apakah yang diinginkan? Yang tentu cara pandang berbeda selalu menimbulkan kontra keinginan yang juga selalu berlawanan.
Memahami dari Kamus Besar Bahasa Indonesia: toleransi adalah sifat atau sikap toleran. Dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan secara penuh. Ada batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Ada penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja.
Dari pemahaman di atas, kita dapat menafsir bahwa toleransi ada karena ada dua cara pandang yang berbeda. Di dalamnya terdapat hal yang sama-sama diinginkan dan kadang kala terjadi konflik kepentingan. Hal ini yang biasanya menjadikan toleransi adalah suatu yang menimbulkan permasalahan.
Permasalahannya dapat kita lihat dari beberapa aspek, yaitu toleransi terhadap kepercayaan, toleransi terhadap tradisi, toleransi terhadap tindakan seseorang yang harus tidak bertolak belakang terhadap norma-norma di dalam masyarakat, serta tidak melanggar dari norma hukum. Dari permasalahan ini dapat disimpulkan bahwa ada dua hal yang sangat signifikan. Artinya, toleransi sebagai cara pandang semata atau sebagai prinsip ideologi seseorang, yang kadang pengertiannya ditafsir secara berbeda.
Apabila kita melihat toleransi dari cara pandang semata, akan terjadi kemudahan merubah cara pandang yang implikasinya semakin mudah dipengaruhi. Akibatnya akan semakin mudah pula berubah dalam melihat toleransi itu sendiri. Sedangkan apabila toleransi sebagai prinsip ideology, maka akan sulit dipengaruhi dan biasanya kuat dalam menjunjung tinggi sesuatu yang acapkali menjadi kontroversi. Menurut saya sebagai penulis toleransi, belum menjadi toleransi jika hanya keinginan dari suatu pihak saja. Artinya, suatu keinginan dari suatu pihak belum sepenuhnya menjadikan keingingan tersebut sebagai toleransi.
Menurut saya, toleransi tercipta apabila adanya kesepakatan dalam masyarakat itu sendiri walaupun secara tersurat atau tersirat, dan artinya kedua pihak menyetujui hal tersebut, memahami kondisi dan situasi dari kedua belah pihak. Contohnya saja, "hormatilah orang yang berpuasa" itu belum menjadi toleransi apabila dari aspek keberagaman sebagai masyarakat pluralism. Akan tetapi, hal itu akan menjadi persetujuan jika redaksinya menjadi seperti ini: "hormatilah orang yang berpuasa dan orang yang tidak berpuasa". Artinya, kedua belah pihak saling menghormati.
Saya sebagai penulis menafsirkan toleransi dari kedua pihak tersebut yang sebenarnya sudah ada di dalam masyarakat indonesia sejak dahulu. Sikap itulah yang kita sebut sebagai tenggang rasa.
Komentar
Posting Komentar