Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional (Bertolt Brecht, 1898-1956).
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tuntutan untuk melibatkan warga negara dalam proses pengambilan kebijakan bersama tidak bisa dibendung lagi. Pemerintah didorong untuk semakin intens menyediakan forum-forum dialog dan sosialisasi terkait pendidikan kewarganegaraan.
Bagaimanapun juga, usaha menuju pendewasaan perspektif masyarakat terhadap kehidupan bersama ini sudah digalakkan sejak dini. Kendati demikian, hasil yang ditemukan justru keluar dari kesan memuaskan.
Tidak sedikit dari beberapa masyarakat yang masih begitu acuh tak acuh terhadap pergolakan perpolitikan di negaranya. Seolah-olah, dalam nalar pikirnya, urusan politik bukanlah ranahnya, melainkan hanya beberapa orang yang duduk sebagai blok birokrasi pemerintahan. Akibatnya, harapan adanya check and balance sebagai prasyarat mutlak berdirinya sistem politik demokrasi malah melahirkan berbagai macam ironi, begitu Giddens menyebutnya.
Meluruskan Persepsi
Menjadi aneh jikalau Indonesia yang notabene-nya lahir dari semangat perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah tetiba dipenuhi oleh mayoritas pembenci politik. Padahal, di balik proses memerdekakan republik, terdapat usaha politik yang kental dan menguras tenaga. Mulai dari diplomasi, lobby, balance of power kekuatan internasional, social movement, sampai dengan revolusi fisik yang telah memakan banyak tumbal.
Kalau kita membaca kembali teks sejarah secara saksama, akan ketemu bahwa alasan dari politik harus ada dalam kehidupan Indonesia adalah kehendak rakyat itu sendiri. Barangkali generasi sekarang tidak mengalami secara empirik praktik rill kehendak rakyat, namun akan segera menemukan keberadaan spirit itu tatkala sampai kepada teks sejarah kaum muda dan berdirinya ‘Persatoean Perdjoeangan’.
Rahmat (2003)—dengan berpijak pada sejarah sumpah pemuda 1928—menjelaskan idealisme nalar pemuda terhadap politik kala itu. Bahwa kaum muda menganggap kultur politik (berasal dari adat, agama, filsafat dan sejarah), struktur politik (hubungan formal antara rakyat, pemerintah, wilayah, dan kedaulatan negara), dan proses politik (kegiatan politik yang bersumber dari kultur politik dan dilaksanakan dalam kerangka struktur politiknya), merupakan hal yang harus mendapatkan pembenahan ekstra. Mereka kemudian menggelar berbagai forum kepemudaan di berbagai daerah, dan membaur bersama masyarakat untuk merumuskan strategi-strategi merebut mencapai kemerdekaan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Tan Malaka (1946), pelopor ‘Persatoean Perdjoangan’. Ia mengorganisir berbagai kelompok dan mendidik setiap lapisan masyarakat, dari bawah hingga atas, untuk menyatukan tekad anti penjajah dan pemimpin negara yang pro terhadap penjajah. Berkat usahanya itu, organisasi ini berhasil merekrut 141 kelompak militan yang siap memperjuangkan tanah airnya. Sampai di sini, penulis ingin menggaris-bawahi semangat mendidik masyarakat. Tentu tidaklah mudah bagi Tan Malaka mengorganisir mereka dengan berbagai watak dan nalar yang melingkupi. Namun, demikianlah pahlawan bangsa. Ia tidak henti-hentinya memberi penyadaran kepada masyarakat bahwa rakyat harus hidup merdeka di tanah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan; rakyat harus memegang kedaulatan sepenuhnya, sebab tanpa rakyat negara tak akan berdaya; tanpa rakyat, negara sudah menanggalkan baju amanah dari Tuhan untuk membuat kehidupan layak di dunia. The Government of The People, for The People, and by The People, menjadi doktrin politik luhur dengan kepastian akan jaminan kebebasan manusiawi, di mana doktrin ini sudah mengakar lama sejak Yunani Kuno (Umaruddin Masdar, dkk, 1999).
Seiring bergantinya rezim, diiringi dengan hilangnya para founding fathers and mothers Republik Indonesia, dan menumpuknya sejarah dengan para pengklaim kebenaran menurut perspektifnya, masyarakat tidak lagi mendapat konsepsi yang jelas hasil dari pengalaman (empiris) dirinya berhadapan dengan sistem pemerintahan. Akibatnya, tujuan kebangsaan dan kenegaraan mereka pun ikut melapuk.
Jarang sekali kita mendengar masyarakat yang mengoarkan ekspektasinya terhadap partai politik yang ada; terlibat dalam perkumpulan yang erat membicarakan persoalan negara, atau lebih tepatnya pemerintah; ikut bekerjasama secara kritis-konformis dengan program baik negara. Mengapa? Karena oligarki politik yang semakin kuat. Celakanya, tatkala mereka berbuat buruk secara formal atau moral, maka akan mempengaruhi mindset masyarakat terhadap politik dengan segala tetek-bengeknya. Analoginya, berbicara politik di tengah masyarakat akan dianggap seperti mengungkapkan fantasi seks di depan publik yang menjunjung moralitas kesopanan (David E. Apter, 1996).
Sebenarnya, gaya determinasi seperti ini sudah jauh dipaparkan oleh Ki Hadjar Dewantara, dengan model Tri No-nya (nonton, niteni, lan nirokke). Beliau ingin menyatakan bahwa persepsi masyarakat sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku orang yang dianggapnya penting.
Orientasi Pendidikan Politik
Dalam hal ini, penulis mengamini pendapat Rush dan Althoff yang menjadikan agen-agen politik dari kalangan: keluarga, sekolah, teman Sebaya, partai politik, pemerintah, dan media massa. Keenamnya memainkan peran penting dalam memberi pemahaman kepada anggota masyarakat akan sistem politik yang bergerak, hingga akhirnya masyarakat mampu menentukan persepsi dan sikap atas gejala-gejala politik (Rush dan Althoff, 2003).
Selanjutnya, perlu digalakkan peninjauan dan dialog secara massif agar jangan sampai nalar baik politik publik ini luntur. Dalam hal ini, pemerintah sebagai agen terpenting seyogyanya memberi penjelasan lebih dalam dan intens kepada masyarakat tatkala terdapat kebijakan dan program yang sedang direncanakan. Hal ini bertambah esensial mengingat seringkali komitmen bersama ini tetiba terhantam oleh badai yang datangnya dari diri sendiri, terlalu memuja kemewahan hal yang datangnya dari luar, meskipun sebuah residu.
Misalkan saja, jika ikhwal pendidikan politik ini diteropong dengan menggunakan kacamata pendekatan developmentalism, maka akan muncul ketimpangan yang luar biasa. Sebab, ternyata dalam realitasnya cenderung mengutamakan proses pembangunan materil yang ada.
Hal ini mendapat kritik keras oleh Mohammed Arkoun (1994), salah seorang tokoh kritis yang terkenal dengan dekonstruksi khas Timur. Ia menegaskan bahwa landasan pembangunan suatu bangsa seyogyanya didasarkan pada kekuatan budaya dan intelektualisme, bukan hanya orientasi materi belaka.
Akhirnya, dalam salah satu hasil penelitian oleh Kiki Mikail dan Hojjat Ibrahimian (2014), ditemukan hasil pasca pemilu legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 terkait ekspektasi yang luar biasa akan terbentuknya pemerintahan dari orang-orang baik yang peduli dengan hajat hidup orang banyak. Karenanya, ekspektasi yang nantinya menentukan nalar kesadaran berpolitik ke arah partisipatif tersebut, sudah sepatutnya diimplementasikan secara simultan oleh berbagai pihak yang masih meyakini kalimatun sawa ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar