Amanah UUD 45 (Pasal 31 ayat 1) tentang pendidikan sebagai hak tiap warga negara adalah amanah yang mengarahkan pendidikan untuk tidak memandang status sosial, asal daerah, gender, maupun ras dan agama bagi siapa yang ingin mengenyamnya. Sayangnya, amanah tersebut tidak termaksimalkan dengan baik. Bahkan bisa dikatakan, amanah tersebut hanya sebagai teks tanpa bunyi. Lihat saja, potret pendidikan Indonesia saat ini tak jauh beda di masa-masa lampau. Di masa penjajahan misalnya, pendidikan diterapkan tak lain sebagai taktik politik yang kini kita kenal sebagai “politik etis”. Di samping itu, yang lebih memprihatikan dan yang akan menjadi fokus bahasan penulis adalah bahwa pendidikan senantiasa diarahkan secara sentralistik lagi diskriminatif. Pendidikan hanya semata untuk pendongkrak pembangunan di wilayah-wilayah tertentu, seperti Jawa-Sumatera. Dan efek buruk dari pratik yang demikian ini, mencipta anak-anak yang berada di luar Jawa-Sumatera yang hanya mampu menjadi penonton, sedang yang lain sebagai aktornya. Hal serupa juga terjadi di saat Indonesia berada di bawah kepemimpinan mutlak seorang Soeharto. Di era Orde Baru ini, arah dan segala aspek pembangunan di Indonesia sangat jelas nafas sentralistiknya. Alhasil, ketimpangan pembangunan berskala nasional pun tak terkendali. Semua disebabkan lantaran tidak meratanya akses pendidikan, sarana-prasarana, serta penunjang-penunjang lainnya seperti penyebaran guru-guru berkualitas. Lantas, bagaimana realitas pendidikan hari ini? Tak jauh beda di masa lampau, pendidikan di Indonesia setelah 71 tahun kemerdekaannya pun masih berkutat pada masalah yang sama. Kenyataannya sungguh tak dapat dielakkan bahwa dalam hal pemerataan pendidikan, masah nampak ketimpangan yang cukup bahkan sangat signifikan. Meski penerapan sistem pendidikannya sama, tapi wilayah implementasinya yang berbeda. Tak hanya dari segi sarana-prasarana, aspek aksebilitas hingga tenaga pengajar juga dapat kita rasakan. Dan untuk itulah penulis menghantar para pembaca untuk menilik ketimpangan pendidikan ini secara awal, serta bagaimana ketimpangan tersebut bisa terjadi.
Ketimpangan Sarana dan Prasarana
Ya, ketimpangan sarana-prasarana di sekolah-sekolah masih menjadi isu utama. Seperti pada perbedaan kualitas, hal ini masih menjadi pembeda majunya institusi pendidikan secara nasional. Sebab nuansa sentralistik masih kental dalam hal penerapan kebijakan pendidikan pemerintah, maka tak heran jika mutuh pendidikan di wilayah-wilayah jauh, seperti Kalimantan dan Papua, sama sekali tak pernah berubah, bahkan semakin jauh tertinggal jika dibanding dengan wilayah-wilayah yang dekat dengan pemerintahan.
Sebagai contoh ketimpangan dalam hal pemerataan pendidikan adalah eksistensi sekolah bertaraf internasional. Di tahun 2014, total jumlah sekolah internasional di Indonesia berkisar 111 sekolah, meliputi tingkat kanak-kanak (primary school) hingga tingkat menengah atas. Akan tetapi, 75% di antaranya berada di pulau Jawa. Sisanya menyebar di negeri-negeri pelosok, seperti Papua (2 sekolah) dan Kalimantan (5 sekolah) (JPNN, 2014).
Sementara itu, sebaran kualitas sarana dan prasarana sekolah negeri pun tidak jauh berbeda. Untuk sekolah negeri dengan kualitas standar di Ibukota maupun di Jawa, dapat dipastikan memiliki fasilitas penunjang KBM yang mempuni. Fasilitas ini meliputi laboratorium fisika, kimia, biologi, laboratorium bahasa dan komputer, perpustakaan, lapangan olahraga, serta ruang kelas yang kondusif. Sedangkan untuk sekolah-sekolah yang berada di daerah Timur Indonesia atau bahkan yang berada di daerah terpencil, fasilitas penunjang tersebut relatif sulit ditemukan. Jangankan dapat menikmati sekolah yang memiliki ruangan nyaman dan ber-AC, bahkan untuk sekadar memiliki buku-buku pelajaran penunjang pun belum tentu mereka bisa.
Kualitas Tenaga Pengajar
Dengan jumlah guru sebanyak 3.015.315 pada tahun 2016, guru di Indonesia dapat dikatakan telah mencukupi (Widiyanto, 2016). Hanya saja, kuantitas saja tentu tidaklah cukup jika tanpa dibarengi dengan kualitas di masing-masingnya. Dan sialnya, dari 3 juta guru tersebut, 72 ribu di antaranya belum merampungkan studi S1 atau D4-nya.
Kenyataan seperti ini tentu sangat memprihatinkan, dan justru akan memperparah realitas dunia pendidikan kita. Maka tak ada jalan lain untuk tidak merintis bagaimana harusnya meningkatkan guru-guru berkualitas, baik yang dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya ataupun skill dalam mengajar-mendidiknya.
Selain permasalahaan latar pendidikan tenaga pengajar di Indonesia, sistem pendaftaran CPNS juga memperparah ketimpangan persebaran guru di Indonesia. Pada sistem pendaftaran tersebut, para pendaftar dibebaskan untuk memilih daerah di mana mereka ingin mengajar (SSCNBKN, 2016). Hal ini kemudian memicu kecenderungan para pendaftar untuk mendaftar di daerah asal mereka atau daerah yang tingkat kompetitifnya rendah. Kecenderungan ini menjadikan tenaga pengajar yang berasal dari wilayah barat tetap di wilayahnya, dan yang berasal dari wilayah timur pun begitu. Dengan sistem ini, transfer ilmu atau pengetahuan antara wilayah barat dan wilayah timur menjadi sulit dilaksanakan. Dan menjadikan wilayah-wilayah yang telah maju akan terus berkembang sedangkan wilayah pinggiran dan terpencil akan terus kesulitan dalam hal akses.
Infrastruktur yang tak Berimbang
Realitas mengenai ketimpangan pembangunan juga memiliki keterkaitan yang erat dengan ketimpangan pendidikan di Indonesia. Pembangunan yang berorientasi pada bidang transportasi misalnya, seperti pembangunan jalan dan jembatan, akan memudahkan akses menuju wilayah. Selain itu, pembangunan jaringan telepon dan jaringan internet juga akan meningkatkan kecepatan persebaran ilmu dan informasi.
Namun pada kenyataannya, pembangunan di Indonesia masih mengalami ketimpangan yang cukup tinggi. Pada tahun ini saja tercatat dari 541 kabupaten/kota seluruh Indonesia terdapat 199 (43 %) kabupaten tertinggal, dengan konsentrasi di wilayah timur sebanyak 62 persen dan sisanya berada di wilayah barat (Firmansyah, 2016). Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa ketimpangan pembangunan antara wilayah timur dan wilayah barat masih cukup tinggi. Ketimpangan pembangunan ini akan sangat berpengaruh terhadap aksesibilitas terhadap pendidikan. Anak-anak yang berada di wilayah barat dapat dengan mudah belajar atau mencari materi dari situs di internet. Dapat memiliki pilihan sarana transportasi untuk berangkat ke sekolah dengan waktu tempuh yang tidak lama. Namun jauh berbeda dengan anak-anak yang berada di wilayah timur yang jangankan dapat mengakses internet dengan lancar, mengenal internet pun mereka tidak. Anak-anak di pedalaman Kalimantan atau Papua misalnya, yang bahkan satu-satunya transportasi untuk mencapai sekolah adalah kaki mereka sendiri.
Seperti yang telah dikutip dari Nelson Mandela pada awal tulisan ini, bahwa sejatinya pendidikan merupakan senjata terkuat yang dapat kita gunakan untuk merubah dunia. Maka sudah selayaknya pendidikan ditempatkan pada prioritas tertinggi dalam kehidupan bernegara. Memberikan hak pendidikan yang sama terhadap semua warga negara sesuai dengan Amanah UUD 1945. Setiap elemen dalam masyarakat dapat saling bahu-membahu guna meminimalisir kendala-kendala yang ada di dalam pendidikan di Indonesia. Sehingga bukan tidak mungkin, sepuluh hingga dua puluh tahun lagi, siswa Indonesia dapat berdiri sebagai para pemimpin dunia.
Komentar
Posting Komentar