Tiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia tak pernah luput memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peringatan ini sekaligus mengenang jasa salah satu Pahlawan Nasional, yakni Ki Hajar Dewantara—bertepatan dengan hari lahirnya, sang pelopor pendidikan di Indonesia.
Sebagai pelopor pendidikan, Ki Hajar Dewantara punya triloka yang sangat terkenal. Triloka tersebut, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Prinsip patrap triloka inilah yang juga menjadi pedoman pendidikan di Indonesia. tentunya tujuan dan makna prinsip tersebut ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kesadaran berbangsa, bermartabat, dan menjadi manusia yang merdeka.
Peringatan ini juga menjadi perenungan bersama mengenai kualitas pendidikan di negara kita saat ini. Apalagi sistem pendidikan formal di Indonesia kini masih belum merata dan menyuluruh di kalangan masyarakat. Apalagi kita tahu, kualitas Sumber Daya Masyarakat (SDM) bangsa Indonesia masuk peringkat terendah dibanding negara anggota ASEAN lainnya.
Berdasarkan data survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih menurut survei dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower, bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Pada dasarnya, pendidikan terbagi dua, yaitu pendidikan formal (akademis) dan informal (pembelajaran di luar kelas). Kedua bentuk jenjang pendidikan ini dinilai masih kurang dan patut dipertanyakan konsistensi penerapannya. Ketertinggalan pendidikan dalam semua jenjang membuat masyarakat kita tidak siap dalam segala persaingan dengan bangsa-bangsa lain.
Bertahun-tahun Indonesia berada pada grafik stagnan dan tidak maju dalam segi pendidikan. Pernyataan ini sudah dibuktikan kebenarannya, mulai dari sistem pembelajaran dan kurikulum yang selalu mengalami perubahan. Sehingga tak jarang Indonesia berada pada status darurat dalam segala masalah yang berhubungan dengan norma dan moral individu yang berkaitan dengan pendidikan. Misalnya, kasus yang terjadi belakangan ini, yaitu status darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pendidikan moral masyarakat kita menjadi taruhannya. Ini menjadi tanda bahwa prinsip patrap triloka kini tak lagi menjadi menjadi semangat esensi pendidikan Indonesia. Moral para pemudanya kini tak lagi bermartabat.
Data tahun 2016 Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) yang menyebutkan dari sisi pola, bentuk dan angka, kekerasan terhadap perempuan semakin meluas. Tahun ini, kekerasan seksual menempati peringkat kedua. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan sebanyak 2.399 kasus atau 72%. Diikuti oleh pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus.
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ini membuktikan moral pendidikan kita sangatlah buruk. Tidak ada kontrol yang pasti dalam semua elemen masyarakat kita. Perilaku dan moral sudah bukan menjadi ukuran pendidikan saat ini. pemerintah hanya menfokuskan ukuran pendidikan hanya pada ruang intelektual, sehingga tak peduli buruknya moralitas manusia-manusianya.Tiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia tak pernah luput memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peringatan ini sekaligus mengenang jasa salah satu Pahlawan Nasional, yakni Ki Hajar Dewantara—bertepatan dengan hari lahirnya, sang pelopor pendidikan di Indonesia.
Sebagai pelopor pendidikan, Ki Hajar Dewantara punya triloka yang sangat terkenal. Triloka tersebut, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Prinsip patrap triloka inilah yang juga menjadi pedoman pendidikan di Indonesia. tentunya tujuan dan makna prinsip tersebut ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kesadaran berbangsa, bermartabat, dan menjadi manusia yang merdeka. Peringatan ini juga menjadi perenungan bersama mengenai kualitas pendidikan di negara kita saat ini. Apalagi sistem pendidikan formal di Indonesia kini masih belum merata dan menyuluruh di kalangan masyarakat. Apalagi kita tahu, kualitas Sumber Daya Masyarakat (SDM) bangsa Indonesia masuk peringkat terendah dibanding negara anggota ASEAN lainnya.
Berdasarkan data survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih menurut survei dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower, bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Pada dasarnya, pendidikan terbagi dua, yaitu pendidikan formal (akademis) dan informal (pembelajaran di luar kelas). Kedua bentuk jenjang pendidikan ini dinilai masih kurang dan patut dipertanyakan konsistensi penerapannya. Ketertinggalan pendidikan dalam semua jenjang membuat masyarakat kita tidak siap dalam segala persaingan dengan bangsa-bangsa lain.
Bertahun-tahun Indonesia berada pada grafik stagnan dan tidak maju dalam segi pendidikan. Pernyataan ini sudah dibuktikan kebenarannya, mulai dari sistem pembelajaran dan kurikulum yang selalu mengalami perubahan. Sehingga tak jarang Indonesia berada pada status darurat dalam segala masalah yang berhubungan dengan norma dan moral individu yang berkaitan dengan pendidikan. Misalnya, kasus yang terjadi belakangan ini, yaitu status darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pendidikan moral masyarakat kita menjadi taruhannya. Ini menjadi tanda bahwa prinsip patrap triloka kini tak lagi menjadi menjadi semangat esensi pendidikan Indonesia. Moral para pemudanya kini tak lagi bermartabat.
Data tahun 2016 Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) yang menyebutkan dari sisi pola, bentuk dan angka, kekerasan terhadap perempuan semakin meluas. Tahun ini, kekerasan seksual menempati peringkat kedua. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan sebanyak 2.399 kasus atau 72%. Diikuti oleh pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus.
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ini membuktikan moral pendidikan kita sangatlah buruk. Tidak ada kontrol yang pasti dalam semua elemen masyarakat kita. Perilaku dan moral sudah bukan menjadi ukuran pendidikan saat ini. pemerintah hanya menfokuskan ukuran pendidikan hanya pada ruang intelektual, sehingga tak peduli buruknya moralitas manusia-manusianya.
Misalnya saja pada kasus pemerkosaan yang kini dialami oleh Yuyun yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sekaligus diakhiri dengan penghabisan nyawa. Kasus ini membuka mata dan telinga kita untuk melihat dan mendengar bahwa pemuda kita saat ini mengalami darurat moral. Pemerintah tidak pernah belajar dan mencari solusi dari masalah yang sering menimpa elemen masyarakat kita, khususnya perempuan yang selalu menjadi objek kekerasan seksual laki-laki.
Jika kita melihat kilas balik sejarah Indonesia, pemuda di masa dulu membentuk organisasi, menciptakan dasar negara, berdiskusi dan berkontribusi untuk Indonesia. Namun jika ditarik pada hari ini, pemuda saat ini bisa apa? Hal ini menjadi kritik terhadap pendidikan yang katanya Indonesia sudah memasuki era kemajuan pendidikan. Kita tidak bisa bersaing jika berbagai elemen masyarakat kita masih mengalami kecacatan, sehingga untuk apa Indonesia merdeka jika pemuda kita tidak terdidik secara moral dan berkehidupan yang bermartabat?
Dalam menghadapi isu-isu kekerasan seksual terhadap perempuan, kini perlu adanya pendidikan seks disertai moral terhadap anak. Karena seperti kita ketahui, pendidikan seksual di Indonesia masih belum mempunyai arah yang jelas dan cenderung tidak diimbangi dengan materi moralitas.
Isi tubuh pendidikan formal dan informal pun tidak ada pembelajaran baik dari guru maupun orang tua. Mereka akan mengetahui seiring berkembangnya pergaulan dengan sekitar dan lingkungan, serta pembelajaran via virtual atau biasa disebut internet. Sehingga tak jarang pendidikan seksual yang mereka ketahui hanyalah persetubuhan intim semata yang berupa kasus pemerkosaan dan seksualitas yang dilakukan oleh orang dewasa.
Tontonan tersebut dapat mempengaruhi kerusakan moral pemuda kita saat ini. Anak-anak akan melakukan tindakan-tindakan meniru sesuai dengan apa yang mereka tonton. Padahal jika kita ketahui seks mempunyai arti jenis kelamin yang membedakan perempuan dan laki-laki secara biologis. Jika masyarakat tidak mengetahuinya dan berujung pada pembicaraan di muka umum, maka ia akan menganggap hal tersebut tabu. Sehingga identitas seks di sini mempunyai stereotype yang vulgar.
Pendidikan seks merupakan suatu informasi yang berhubungan dengan seksualitas manusia yang baik dan benar. Informasi ini meliputi pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, dan aspek-aspek kesehatan seksual lainnya. Tujuan dari pendidikan seksual ini, yaitu munculnya kesadaran akan pentingnya memahami masalah seksualitas, fungsi-fungsi seksual, dampak yang terjadi jika disalahgunakan.
Menurut Sigmund Freud, ada beberapa tahapan perkembangan psikoseksual, yaitu fase oral, fase anal, fase phalic, fase latent, dan fase genital. Pada fase anal usia 1-4 tahun, orang tua disarankan untuk memperkenalkan anatomi tubuh termasuk alat genitalnya. Sehingga pendidikan seksual di sini tidak menjadi hal yang tabu dan terkesan vulgar didengar. Jika pendidikan seksual dan moral tidak diberikan pada anak, otomatis anak tidak akan tahu karena seksualitasnya berkembang sejak masa anak-anak.
Penulis berharap pendidikan seksual dapat menemukan arah dan metode pembelajaran yang jelas. Peran orang tua dan guru menjadi sangat penting untuk memperkenalkan pendidikan seksual pada anak. Tentunya dengan pendekatan atau masuknya pendidikan seksual melalui kurikulum pendidikan yang diterapkan saat ini. Pemerintah harus menemukan solusi permasalahan yang selama ini terjadi. Pemerintah harus mengembalikan esensi patrap triloka yang menjadi pedoman pendidikan yang diterapkan Ki Hajar Dewantara. Sehingga Indonesia akan dipandang sebagai negara yang bermartabat dan tidak selalu berada pada status darurat dalam segala permasalahan yang ada.
Pemerintah juga harus mendukung RUU penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Sehingga kasus Yuyun menjadi kasus terakhir dalam kekerasan seksual terhadap perempuan. Pembenahan masuknya pendidikan seksual pada kurikulum pendidikan patut untuk menjadi perhatian pemerintah. Sehingga anak-anak dapat mengontrol dirinya untuk berperilaku dan menerapkan pendidikan seksual dengan benar di kehidupannya.
Segala elemen bangsa ini harus sama-sama bergerak dan bersinergi menuju Indonesia lebih baik lagi. Moral pendidikan Indonesia harus menjadi garda terdepan terwujudnya patrap triloka.
Misalnya saja pada kasus pemerkosaan yang kini dialami oleh Yuyun yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sekaligus diakhiri dengan penghabisan nyawa. Kasus ini membuka mata dan telinga kita untuk melihat dan mendengar bahwa pemuda kita saat ini mengalami darurat moral. Pemerintah tidak pernah belajar dan mencari solusi dari masalah yang sering menimpa elemen masyarakat kita, khususnya perempuan yang selalu menjadi objek kekerasan seksual laki-laki. Jika kita melihat kilas balik sejarah Indonesia, pemuda di masa dulu membentuk organisasi, menciptakan dasar negara, berdiskusi dan berkontribusi untuk Indonesia. Namun jika ditarik pada hari ini, pemuda saat ini bisa apa? Hal ini menjadi kritik terhadap pendidikan yang katanya Indonesia sudah memasuki era kemajuan pendidikan. Kita tidak bisa bersaing jika berbagai elemen masyarakat kita masih mengalami kecacatan, sehingga untuk apa Indonesia merdeka jika pemuda kita tidak terdidik secara moral dan berkehidupan yang bermartabat?
Dalam menghadapi isu-isu kekerasan seksual terhadap perempuan, kini perlu adanya pendidikan seks disertai moral terhadap anak. Karena seperti kita ketahui, pendidikan seksual di Indonesia masih belum mempunyai arah yang jelas dan cenderung tidak diimbangi dengan materi moralitas.
Isi tubuh pendidikan formal dan informal pun tidak ada pembelajaran baik dari guru maupun orang tua. Mereka akan mengetahui seiring berkembangnya pergaulan dengan sekitar dan lingkungan, serta pembelajaran via virtual atau biasa disebut internet. Sehingga tak jarang pendidikan seksual yang mereka ketahui hanyalah persetubuhan intim semata yang berupa kasus pemerkosaan dan seksualitas yang dilakukan oleh orang dewasa. Tontonan tersebut dapat mempengaruhi kerusakan moral pemuda kita saat ini. Anak-anak akan melakukan tindakan-tindakan meniru sesuai dengan apa yang mereka tonton. Padahal jika kita ketahui seks mempunyai arti jenis kelamin yang membedakan perempuan dan laki-laki secara biologis. Jika masyarakat tidak mengetahuinya dan berujung pada pembicaraan di muka umum, maka ia akan menganggap hal tersebut tabu. Sehingga identitas seks di sini mempunyai stereotype yang vulgar.
Pendidikan seks merupakan suatu informasi yang berhubungan dengan seksualitas manusia yang baik dan benar. Informasi ini meliputi pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, dan aspek-aspek kesehatan seksual lainnya. Tujuan dari pendidikan seksual ini, yaitu munculnya kesadaran akan pentingnya memahami masalah seksualitas, fungsi-fungsi seksual, dampak yang terjadi jika disalahgunakan. Menurut Sigmund Freud, ada beberapa tahapan perkembangan psikoseksual, yaitu fase oral, fase anal, fase phalic, fase latent, dan fase genital. Pada fase anal usia 1-4 tahun, orang tua disarankan untuk memperkenalkan anatomi tubuh termasuk alat genitalnya. Sehingga pendidikan seksual di sini tidak menjadi hal yang tabu dan terkesan vulgar didengar. Jika pendidikan seksual dan moral tidak diberikan pada anak, otomatis anak tidak akan tahu karena seksualitasnya berkembang sejak masa anak-anak.
Penulis berharap pendidikan seksual dapat menemukan arah dan metode pembelajaran yang jelas. Peran orang tua dan guru menjadi sangat penting untuk memperkenalkan pendidikan seksual pada anak. Tentunya dengan pendekatan atau masuknya pendidikan seksual melalui kurikulum pendidikan yang diterapkan saat ini. Pemerintah harus menemukan solusi permasalahan yang selama ini terjadi. Pemerintah harus mengembalikan esensi patrap triloka yang menjadi pedoman pendidikan yang diterapkan Ki Hajar Dewantara. Sehingga Indonesia akan dipandang sebagai negara yang bermartabat dan tidak selalu berada pada status darurat dalam segala permasalahan yang ada.
Pemerintah juga harus mendukung RUU penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Sehingga kasus Yuyun menjadi kasus terakhir dalam kekerasan seksual terhadap perempuan. Pembenahan masuknya pendidikan seksual pada kurikulum pendidikan patut untuk menjadi perhatian pemerintah. Sehingga anak-anak dapat mengontrol dirinya untuk berperilaku dan menerapkan pendidikan seksual dengan benar di kehidupannya.
Segala elemen bangsa ini harus sama-sama bergerak dan bersinergi menuju Indonesia lebih baik lagi. Moral pendidikan Indonesia harus menjadi garda terdepan terwujudnya patrap triloka.
Komentar
Posting Komentar