Langsung ke konten utama

Subjektifitas Filsafat Hegel

Subjektifitas di dalam Filsafat Hegel

   Di dalam filsafat tema subyektivitas adalah tema yang sudah berumur ratusan tahun, jauh sebelum masa hidup Hegel. Para filsuf modern seperti Kant dan Descartes merefleksikannya secara sistematis dan mendalam. Namun menurut Hegel refleksi filsafat tentang subyektivitas di dalam filsafat Kant maupun Descartes masih terjebak pada kesalahpahaman dan inkoherensi. Seperti yang ditulis oleh Krasnoff, bagi Descartes, subyektivitas adalah konsep yang bersifat kontemplatif. Fungsi konsep itu sendiri semata-mata hanya sebagai titik awal (starting point) untuk memberikan kepastian metodologis (methodological certainty). Tidak ada kepastian apakah pikiranku memiliki hubungan langsung dengan realitas. Yang pasti adalah bahwa aku sedang berpikir (I am thinking), dan pikiran itu selalu mengarah pada sesuatu. Aku tidak pernah berpikir kosong, karena aku selalu berpikir tentang sesuatu.
Namun menurut Krasnoff jika pikiran adalah soal individu subyektif semata, maka tidak ada kemungkinan untuk menilai, apakah pikiran itu tepat atau tidak. Jika argumen ini benar, lalu bagaimana hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia fisik eksternal? Ini adalah pertanyaan yang langsung menjatuhkan seluruh sistem Cartesian. Bagi Descartes hubungan pikiran dengan dunia luar terletak pada fakta, bahwa Tuhan itu ada, dan Ia tidak mungkin menipu kita. Tentu saja argumen ini sama sekali tidak kuat, dan bahkan terkesan sangat dogmatis. Yang ingin dicapai Descartes adalah keketatan berpikir metodis di dalam filsafat. Namun kekuatan pendekatan Descartes ternyata juga mencerminkan kelemahannya. Filsafatnya tidak memberikan argumen yang cukup memadai tentang hubungan antara pikiran dan realitas fisik di luarnya.
Seperti sudah disinggung pada bab sebelumnya tentang metode skeptisisme, Hume adalah filsuf yang dengan keras mengajukan kritik kepada Descartes. Hume menolak mengakui adanya relasi sebab akibat yang nyata di dalam realitas. Ia juga menolak argumen, bahwa kita bisa sungguh sampai pada pengetahuan yang benar tentang realitas. Kant kemudian mencoba mengajukan kritik terhadap Hume dengan berargumen, bahwa pengetahuan yang tepat tentang dunia fisik itu mungkin, karena struktur akal budi internal manusia memungkinkan itu terjadi. Struktur akal budi internal itu disebut juga sebagai subyektivitas (subjectivity). Walaupun begitu Kant tidak menjadikan subyektivitas hanya sebagai titik awal yang sifatnya kontemplatif, seperti pada filsafat Descartes. Sebaliknya pada Kant konsep subyektivitas lebih bersifat aktif di dalam membentuk pengetahuan tentang dunia luar. Dalam arti ini tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia tidak ada dunia.
Inilah yang disebut Krasnoff sebagai konsep subyektivitas yang bersifat idealistik (idealist conception of subjectivity). Konsep subyek di dalam Kant melampaui konsep subyek di dalam filsafat Descartes, yang cenderung bersifat kontemplatif dan pasif semata. Dalam arti ini konsep subyek Kant dapat juga disebut konsep subyek yang aktif (active subject), terutama jika diperlawankan dengan konsep subyek di dalam filsafat Descartes yang cenderung pasif. Bagi Kant akal budi adalah fakultas di dalam diri manusia yang berfungsi untuk membentuk ide. Ide itu sendiri berasal sekaligus melampauipengalaman inderawi.
Salah satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the idea of freedom). Ide kebebasan tidak pernah bisa dipahami secara empiris. Oleh karena itu pengetahuan manusia tentang kebebasan memiliki bentuk yang berbeda, jika dibandingkan dengan pengetahuan manusia mengetahui benda-benda fisik, seperti meja, kursi, mobil, dan sebagainya. “Akan tetapi dengan alasan ini,” demikian Krasnoff, “kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak mempunyai kenyataan.
    Artinya adalah walaupun tidak memiliki dasar empiris-fisik, dan tidak bisa menjadi obyek pengetahuan langsung manusia, ide kebebasan tetap dapat dipahami oleh manusia, walaupun dengan cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu diandaikan di dalam tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika tidak diandaikan maka tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara faktanya tindakan moral, seperti berbuat baik, itu mungkin, maka kebebasan pun tidak bisa dibantah keberadaannya.

    Filsafat Hegel dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk melampaui konsep subyek di dalam filsafat Kant maupun Descartes. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Hegel sangat mengagumi Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan dari momen bersejarah tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan kebebasan dari subyek untuk melawan semua bentuk kekuatan yang mengekangnya.
Tentu saja banyak filsuf berharap supaya kekuatan kebebasan ini dapat diarahkan pada sesuatu yang sifatnya positif, seperti untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan moralitas misalnya. Akan tetapi seperti ditegaskan oleh Krasnoff, subyek yang bebas berarti ia tidak bisa ditentukan tindakan ataupun pilihannya ke depan. Jika ia bisa ditentukan, maka ia tidaklah bebas. Konsep subyek pada filsafat Descartes terjebak pada dirinya sendiri. Subyek menjadi koheren secara konseptual, namun tidak bisa diterapkan dalam konteks kehidupan nyata. Sementara subyek moral Kantian, yang menempatkan kebebasan sebagai pengandaian, tidak bisa dipastikan akan melulu bertindak secara moral.
Hegel sendiri sebenarnya banyak sependapat dengan Kant. Namun begitu Hegel ingin menyelamatkan konsep subyek dari isolasi, seperti yang dialami konsep subyek di dalam filsafat Descartes. Hegel setuju bahwa subyektivitas manusia itu sifatnya aktif dan kreatif, serta mampu menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek melampaui semua kekangan yang menghambatnya, ia kemudian menjadi sadar diri (self-conscious), yakni sadar akan kesalahan dari tindakan ataupun pilihannya. Di dalam proses menyadari dirinya sendiri ini, subyek kemudian semakin mengetahui dan memahami dirinya sendiri (self-knowledge).
Proses subyek untuk mengenali dirinya sendiri ini, menurut Hegel, mirip seperti pertarungan melawan dan bersama kematian itu sendiri (struggle with and against death). Kebebasan manusia sebagai subyek paling tampak di dalam kebebasannya menghadapi kematian. Selain itu kebebasan subyek paling tampak di dalam penegasan dirinya menghadapi tekanan sosial (social pressure). Namun begitu pernyataan terakhir tampak mengandung setitik kontradiksi. Bukankah lingkungan sosial yang memberikan arti dan makna bagi kehidupan seseorang? Dan bukankah seperti yang dikatakan oleh Heidegger dengan lugas, bahwa kematianlah yang memberikan makna bagi kehidupan manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam tegangan untuk menjadi bebas di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas sosialnya.
 Ia juga selalu berada dalam tegangan antara dorongan untuk memaknai hidup yang ada, dan kecemasan di dalam menghadapi kematian. Di dalam tegangan itulah subyek menyadari dirinya sendiri (self-realizing).

Hegel dan Dialektika
Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun Hegel sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui konsep tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan, bahwa ia mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode dialektik memang nantinya menjadi sangat populer di tangan para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran Hegel.
Di dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung menggunakan konsep tesis-antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan logika yang kurang lebih sama di dalam tulisan-tulisannya. Ia kerap kali menggunakan konsep abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-concrete) untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas. Beberapa kali ia menggunakan kata langsung-tidak langsung-konkret (immediate-mediated-conrete). Hegel memang menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis yang digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal ini secara lebih mendalam.
Di dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti secara logis mengapa tesis terkait dengan antitesis. Yang dikatakan oleh para komentator Hegel hanyalah di dalam tesis sudah langsung termuat antitesis. Namun apa sesungguhnya arti dari argumen itu? Coba kita lihat rumusan Hegel abstrak-negatif-konkret. Di dalam rumusan itu sudah diandaikan, bahwa tesis, yakni abstrak, memiliki kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam realitas. Konsep abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di dalam kerasnya realitas. Di dalam tahap negatif, yang merupakan level antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam realitas, dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru setelah itu abstrak dan negatif mengelami sintesis, dan menjadi konkret. Level konkret baru bisa dicapai, jika level negatif dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi dari metode dialektis yang dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel.
Untuk menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak itu, Hegel menggunakan konsep Aufhebung, yang berarti ‘melampaui’ (overcoming). Secara kasar konsep melampaui itu bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk menerjang batas-batas konsep yang ada sebelumnya, sambil tetap mengambil sisi positifnya yang tertinggal. Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Logika(Science of Logic), Hegel mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami keberadaan manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being). Namun ada-murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan dengan ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang keberadaanya bersifat murni, yakni tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara logis dapat disamakan dengan tidak ada. Di dalam proses ada-murni, yang juga berarti ketiadaan, akan melampaui batas-batasnya sendiri, dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming). Di dalam kosa kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari ada-murni dan ketiadaan.
Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat. Baginya setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis, muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua asumsi, yakni legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena jika asumsi itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara yang bebas dan cerdas.
Dari contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Di dalam konsep monarki absolut sebagai acuan filsafat politik, sudah ada ‘anti’ dari monarki absolut itu sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung di dalam tesis. Dan sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis. Dalam bahasa Hegel di dalam Ilmu Logika, di dalam Ada dan Ketiadaan sudah selalu terkandung ‘menjadi’. Lalu apa sebenarnya tujuan dari metode dialektika ini?
Tujuan dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas pada dirinya sendiri, seturut geraknya sendiri, dan untuk memahami itu semua dalam terang akal budi. Konsep inti di dalam metode dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation of the negation), atau yang ia sebut juga sebagaiAufhebung. Konsep ini diawali dengan sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa adanya, karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada segala sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya sendiri.

    Hegel mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang kelihatannya penuh dengan negativitas. Namun negativitas itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan ‘melampaui’ tesis dan antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel bergerak dengan pola itu. Dan pada akhir sejarah, realitas akan mengalami sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh proses ini disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu adalah kontradiksi dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki unsur negativitas yang kuat, namun diperlukan untuk perkembangan realitas menuju sintesis absolut.

Sumber: 
Pada bab ini saya mengacu pada Larry Krasnoff, Hegel’s Phenomenology of Spirit, Cambridge, Cambridge University Press, 2008.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan PraKolonial

Di era sekarang ini banyak sekali anak muda yang kurang wawasan, kurang pengetahuan, sebenarnya mereka tau apa sih, ketika di tanya pendidikan prakolonial itu apa sih? Si Racap aja gak tau hadehhh, biar kita banyak tau mari kita membaca artikel yang satu ini, ingat ya makin banyak tau makin banyak deh wawasannya... Pengertian Pendidikan Prakolonial    Pendidikan Prakolonial di mengerti sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang di batasi oleh ruang waktu tertentu. Pembatasan ruang mengacu pada batas-batas politik yang terdapat di geografis tertentu sedangkan batasan waktu mengacu pada sebuah masa ketika praktik penjajahan belum dimulai. Geografis itu merujuk pada wilayah Nusantara sedangkan masa yang di maksud mengacu pada abad ke -17, yakni sebelum jan Peterson Coen melemparkan jangkar di pantai sunda kelapa.    Pada abad ini akan dibahas tentang semangat pendisikan pada masa pra-kolonial dan sisa-sisanya pada masa sekarang. Masyarakat prakolonial memiliki model pemerinntahan

Mahzab Fenomenologi Max Weber

Fenomenologi       Fenomenologi adalah satu aliran filsafat modern yang sangat berpengaruh. Salah satu tokoh utamanya adalah Edmund Husserl (1859-1935) dari Jerman. Pada prinsipnya metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai “hakikat segala sesuatu”. Maksudnya agar mencapai “pengertian yang sebenarnya” atau “hal yang sebenarnya” yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini :    1. Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni-murninya 2. Reduksi eidetis, penyaringan atau penetapan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidus atau inti sari atau hakekat gejala atau fenomena. Jadi hasil reduksi kedua ialah “penilikan hakikat”. Inilah pengertian yang sejati.    3. Reduksi transendental, yang harus ditempatkan diantara tanda kurung dahulu ialah eksiste

Perbedaan Filsafat Barat dan Timur

Perbedaan Antara Filsafat Barat dan Filsafat Timur  I. Filsafat Barat 1. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 2. Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 3. Tokoh utama filsafat Barat  antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. 4. Terdapat pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. a. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. b. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berba